Assalamualaikum sobat. Mengkritisi teori domino Heinrich. Kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja merupakan salah satu dampak dari lemahnya sebuah sistem manajemen keselamatan di suatu perusahaan. Kita sepakat bahwa teori tentang penyebab kecelakaan (teori domino) yang dirumuskan oleh Heinrich terdapat 5 (lima) faktor penyebab
PENJELASAN LENGKAP ALLAH ADA TANPA TEMPAT & TANPA ARAH Dalam Berbagai Karya Ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah Lintas Masa dan GenerasiPENJELASAN LENGKAP ALLAH ADA TANPA TEMPAT & TANPA ARAH Dalam Berbagai Karya Ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah Lintas Masa dan GenerasiSesungguhnya ilmu mengenal Allah dan mengenal sifat-sifat-Nya adalah ilmu paling agung dan paling utama, serta paling wajib untuk didahulukan mempelajarinya atas seluruh ilmu lainnya, karena pengetahuan terhadap ilmu ini merupakan pondasi bagi keselamatan dan kebahagiaan hakiki, yang oleh karena itu ilmu Tauhid ini dikenal juga dengan nama Ilmu Ushul pondasi agama
TanpaDefinisi. Kepadamu yang mengajarkanku makna dan cara menjadi utuh. Terima kasih telah melemparku ke dalam jurang penuh tanda tanya ini. Aku merangkak, belajar menjawab satu-persatu sampai tiada tanya tersisa. Menanjak kembali menuju tempat kita pertama kali bertemu. Supaya aku menjadi tahu apa sebabnya Allah takdirkan kita bertatap Akidah Rosulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah meyakini bahwa Allah Ada tanpa Tempat dan tanpa Arah. Karena tempat adalah makhluk, dan arah juga Makhluk. Jadi Allah Tidak membutuhkan makhlukNya. Akidah Rosulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah meyakini bahwa Allah Ada tanpa Tempat dan tanpa Arah. Karena tempat adalah makhluk, dan arah juga Makhluk. Jadi Allah Tidak membutuhkan makhlukNya. Anda bisa membaca lengkap Akidah Rosulullah ini yang diajarkan kepada para sahabatnya sampai kepada Imam Asy'ari dan Imam Maturidy. Silahkan download buku Ini Penjelasan lengkap ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH Atau bisa dibaca lengkap disini
HajiReguler dengan antrian lebih dari 30 tahun. Haji Khusus (ONH Plus) saja sudah mencapai 9 tahun. Ketika sanggup fisik dan finansial saja belum cukup, karena ada kesanggupan waktu dan kuota yang terbatas, sehingga tidak semua orang bisa menyegerakan ibadah haji karena keterbatasan tersebut. Alhamdulillah sejak tahun 2019 pemerintah RI telah menerbitkan UU
Akidah umat Islam pada umumnya Allah ada tanpa tempat maupun arah sebelum maupun sesudah diciptakan Arsy Mereka “bergembira” atas wafatnya ustadz Tengku Zulkarnain Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia MUI periode 2015-2020 karena dianggap sebagai ahlul bid’ah dan termasuk firqah Jahmiyah sebagaimana “perbincangan” mereka pada Mereka “memperbincangkan” wafatnya ustadz Tengku Zulkarnain sambil bertanya apa dalilnya bahwa Allah ada tanpa tempat sebagaimana status atau tulisan mereka pada Salah satu contoh dalil bagi i’tiqod atau akidah umat Islam pada umumnya, Allah ada tanpa tempat maupun arah adalah sabda Rasulullah bahwa Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun menyertai-Nya termasuk tempat maupun arah sebelum maupun sesudah diciptakan Arsy. Rasulullah bersabda, قَالَ كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Dia, sedangkan arsy-Nya di atas air, HR. Bukhari 2953 Haditsnya bisa dibaca secara daring online pada atau matan redaksi lainnya Rasulullah bersabda قَالَ كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun sebelum-Nya, sedangkan arsy-Nya berada di atas air HR. Bukhari 6868 Haditsnya bisa dibaca secara daring online pada Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata “Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat tetap seperti semula ada tanpa tempat” Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tidak ada sesuatupun besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya” Begitupula Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” QS Al Hadiid [57]3 Jadi jelaslah bahwa Allah Ta’ala ada sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya. Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy Jadi Allah Ta’ala ada dan tidak berubah !!! , mustahil disifatkan berubah huduts Imam Syafi’i berkata إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته “Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36. Jika dikatakan bahwa Tuhan berada di atas Arsy maka berarti tidak ada Tuhan di bawah Arsy. Begitupula jika dikatakan Allah berada di atas Arsy maka berarti ada Arsy di bawah Allah. Padahal Rasulullah bersabda bahwa Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasNya tidak ada sesuatu dan di bawahNya tidak ada sesuatu. Rasulullah bersabda, قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasNya tidak ada sesuatu dan di bawahNya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.” . قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, makna Ama` adalah Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya Sunan at Tirmidzi, 3109 Sedangkan sabda Rasulullah yang ARTINYA “Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.” MAKNANYA BUKANLAH Allah Ta’ala BERUBAH menjadi di atas Arsy karena Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan berubah. Rasulullah sekedar memberitakan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Arsy di atas air. Rasulullah tidak pernah bersabda bahwa Allah Ta’ala menciptakan Arsy berada di bawahNya. Imam al-Qadli Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlah ad-Dalil Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107 menuliskan ***** awal kutipan *****Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya “Tsumma Istawa” bukan dalam pengertian “tertib atau berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk memberikan paham tertib atau kesinambungan dalam pemberitaan, bukan dalam perbuatan-Nya.**** akhir kutipan *** Al-Imam al-Qurthubi menuliskan “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr 22 Begitupula ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al Baihaqi W 458 H dalam kitabnya al Asma wa ash Shifat, hlm. 506 menjelaskan dalil bahwa Allah ada tanpa tempat maupun arah, ***** awal kutipan ******واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي صلى الله عليه و سلم Dan telah berdalil sebagian sahabat kami ahlus sunnah dalam menafikan tempat bagi Allah dengan sabda Rasululullah shallallahu alaihi wasallam, أنت الظاهر فليس فوقك شىء, وأنت الباطن فليس دونك شىء Engkau Adz Dzahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu dan Engkau Al Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu. HR Muslim 4888 وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان “jika tidak ada sesuatu di atas dan di bawahNya itu artinya Allah tidak ada pada tempat”.***** akhir kutipan ***** Begitupula tidak ada mufassir ahli tafsir yang MENTERJEMAHKAN Istawa ARTINYA adalah BERADA. Para mufassir ahli tafsir sepakat menterjemahkan Istawa ARTINYA adalah BERSEMAYAM karena kata BERSEMAYAM serupa dengan ISTAWA mempunyai MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ makna kiasan. Jadi kita harus dapat membedakan antara ARTI dan MAKNA Istawa bagi Allah Ta’ala supaya tidak terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD Contoh kata BERSEMAYAM yang tidak dapat dimaknai dengan MAKNA DZAHIR, makna duduk atau bertempat dalam sebuah petuah Bung Karno tertanggal 23 Oktober 1946 yakni berbunyi Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin. Contoh BERSEMAYAM dalam MAKNA MAJAZ adalah berkuasa, contohnya, “Bapak Drs H. M. Abdullah Msc BERSEMAYAM di SINGGASANA Walikota selama dua periode” bukan bermakna dia BERTEMPAT atau DUDUK di SINGGASANA sepanjang dua periode namun MAKNANYA dia BERKUASA selama dua periode. Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata, إنَّ اللهَ خلَقالْعرشإظْهارا لقُدرتهولم يتخذْهمكَانا لذَات رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق/ ص ٣٣٣ “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy makhluk Allah yang paling besar untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” , diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi W 429 H dalam kitab al Farq bayna al Firaq perbedaan di antara Aliran-aliran, hal. 333 Para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah W 728H sebelum bertaubat MENTERJEMAHKAN alal arsy istawa dalam MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA yang artinya BERADA di arah atas secara hissi inderawi / materi / fisikal atau BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI atau bahkan MELAYANG TINGGI di atas arsy karena ada juga mereka yang mengingkari menempelnya Tuhan dengan makhluk-Nya. Padahal para ulama terdahulu telah melarang mentakwil ISTAWA dengan MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA karena akan terjerumus Aashin durhaka kepada Allah Ta’ala yakni seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy. Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah menegaskan bahwa istawa Allah di atas Arsy بلا كيف ولا استقرار Tanpa kaifa sifat makhluk/benda dan bukan dalam MAKNA DZAHIR yakni bukan dalam pengertian ISTIQRAR. Jadi BUKAN Allah ISTAQARRA yakni BERADA atau BERTEMPAT atau MENETAP atau bahkan MELAYANG TINGGI di atas Arsy. NAMUN Allah di atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA yakni tanpa sifat-sifat makhluk/benda seperti arah jihah, jarak, ruang, waktu, berbatas al hadd dengan arsy sebagaimana yang telah disampaikan pada Sedangkan Salafush Sholeh pada umumnya membiarkan khabar-khabar tersebut yakni membiarkan ayat-ayat mutasyabihat banyak makna terkait sifat Allah sebagaimana datangnya maksudnya MENGITSBATKAN MENETAPKAN berdasarkan LAFADZNYA dan menafikan makna secara bahasa artinya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala. Salafush Sholeh mengatakan قال الوليد بن مسلم سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي أمروها كما جاءت بلا تفسير “Dan Walid bin Muslim berkata Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir” Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan makna bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan makna bahasa Farsi makna bahasa selain Arab / bahasa asing Al-Asma’ wa As-Sifat 314. Ibnu Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H. Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz dan lalu TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala Para penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah W 728H sebelum bertaubat terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH bersikukuh atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat banyak makna terkait sifat Allah secara hissi inderawi / materi / fisikal atau SELALU dengam MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ Firqah MUJASSIMAH adalah mereka yang MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala yakni mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism atau sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti mengisbatkan menetapkan arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya maupun anggota badan Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar seperti tangan dan kaki dan anggota tubuh yang kecil seperti mata dan lidah atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang seperti halnya makhluk diliputi oleh arah. Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi w. 725 H dalam kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi menuliskan Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib mengatakan قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء “Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir maksudnya KUFUR dalam I’TIQOD karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat dan anggota-anggota badan.” Lihat biografi al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam ad-Durar al-Kaminah karya al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, j. 4, h. 198 Begitupula Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 menyampaikan pandangan para ulama terdahulu terhadap kebid’ahan Ibnu Taimiyyah W 728 H sebagaimana yang dinformasikan pada ****** awal kutipan ******فمنهم من نسبه إلى التجسيم لما ذكر في العقيدة الحموية والواسطية وغيرهما من ذلك كقوله إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله، وأنه مستو على العرش بذاته، فقيل له يلزم من ذلك التحيز والانقسام. فقال أنا لا أسلم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام. فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله. Ada sebagian kelompok yang menisbatkan pemahaman Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki BATASAN dan bagian, MAKA ia menjawab, “ Aku tidak setuju BATASAN dan bagian termasuk kekhushusan jisim sifat benda /fisikal Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.****** akhir kutipan ****** Begitupula dalam Hasyiyah al-Allaamah Ibn Hajar al-Haitami alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj telah menyampaikan bahwa Ibnu Taimiyyah itu telah MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala KARENA mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya. ***** awal kutipan *****Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan. Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji. –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”***** akhir kutipan ***** Dalam kitab yang sama, Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan oleh banyak ulama terdahulu dalam arti ditetapkan kufur dalam i’tiqod Contohnya seperti Al Allamah Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi W 841 H. Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’. Jadi perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Ibnu Taimiyyah W 728 H karena begitu besarnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah W 728 H MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah ***** awal kutipan *****ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه “Meskipun demikian, beliau Ibnu Taimiyyah adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.***** akhir kutipan **** Begitupula permasalahan ini bukanlah perkara furu’iyyah karena Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah seperti Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu 1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm. 2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm. 3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm. 4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm. Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan “وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”. “Dia Ibnu Taimiyyah dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.” Selain qodhi empat mazhab, masih banyak ulama lainnya yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah W 728 H dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disampaikan pada Contohnya Al-Imam Ibn Jahbal W 733 H dalam risalah Fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. memuat bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah W 728 H yang mengatakan bahwa Allah berada atau bertempat di atas arsy. ****** awal kutipan ******… bila dikatakan dalam bahasa Arab “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan “al-Ilmu Fawq al-Amal” maka artinya “Ilmu kedudukannya di atas amal”. Contoh makna ini dalam firman Allah “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqo Ba’dlin Darajat” QS. Az-Zukhruf 32, artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.****** akhir kutipan ****** Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata ***** awal kutipan *****Makna فوق fawqo bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawqo pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqo ibaadihi Jika yang dimaksud fawqo dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?***** akhir kutipan ****** Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an menuliskan tentang pemahaman fawq pada hak Allah, sebagai berikut “…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya “Wa Huwa al-Qahiru Fawqo Ibadih” QS. Al-An’am 18, dan firman-Nya “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” QS. An-Nahl 50. Makna fawqo dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawqo dalam ayat tersebut sama dengan makna fawqo dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun “Wa Inna Fawqohum Qahirun” QS. Al-A’raf 127, bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai Bani Isra’il”. Pembesar Mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi, ketika menjelaskan kekeliruan firqah MUJASSIMAH yang menyimpulkan bahwa secara indrawi Allah berada di arah atas berdalilkan firman Allah Ta’ala, “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa Ibadihi” QS. Al-An’am 61 ***** awal kutipan ****Dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan فلان فوق فلان Fulan fawqa Fulan artinya derajat si fulan A lebih tinggi dibanding si fulan B Ungkapan ini BUKAN bermaksud bahwa si fulan A berada di atas pundak si fulan B Mereka lupa bahwa pengertian FAWQA dalam makna indrawi makna dzahir hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja. Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian, علوّ المرتبة Uluww al-Martabah artinya derajat yang tinggi******* akhir kutipan ******* Begutupula dalam bahasa Arab Fiis Sama’i arti sebenarnya HANYALAH “di langit” BUKANLAH “BERADA di ATAS langit” Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid; ***** awal kutipan *****“Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia dibanding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“****** akhir kutipan ****** Begitupula pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih mencontohkan KEKELIRUAN firqah MUJASSIMAH dalam memahami firman Allah أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ aamintum man fiis samaa-i QS Al Mulk [67]16 ***** awal kutipan ******Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena dasar kata fis sama’ dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”, padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun. Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit. Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.***** akhir kutipan ***** Jadi UNGKAPAN seperti “serahkan sama Yang di langit” atau “serahkan sama Yang di atas” BUKAN dalam pengertian ARAH, BATASAN, JARAK ataupun TEMPAT NAMUN maksudnya adalah, علوّ المرتبة Uluww al-Martabah artinyaderajat yang tinggi. Oleh karenanya terhadap firmanNya pada QS Al Mulk [67]16 para mufassir ahli tafsir telah sepakat menyisipkan kata “berkuasa” agar tidak dipahami dan disisipkan kata “berada” atau “bertempat” sehingga menafsirkannya menjadi, Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berkuasa di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]16 ***** awal kutipan ******a-amintum, Apakah kalian merasa aman dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil man fiis samaa-i, terhadap kekuasaan Allah yang di langit yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit an yakhsifa, bahwa Dia akan menjungkir balikkan berkedudukan menjadi badal dari lafaz man bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang menjadi gempa dan menindih kalian****** akhir kutipan ****** Tafsir Jalalain dapat dibaca secara daring online pada FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah W 728 H MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN MAZHABNYA atau metode pemahamannya selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagai mazhab atau manhaj salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149 ***** awal kutipan *****Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR***** akhir kutipan ***** Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah SERUPA dengan MAZHABNYA Ibnu Taimiyyah W 728 yang DILABELI mazhab atau manhaj Salaf. Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat banyak makna SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115. Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata, ***** awal kutipan *****“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor majaz dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor. Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.***** akhir kutipan **** Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah w 751 H murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA Ath thaghut Ats Tsalits, karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang As Showa’iqul Mursalah 2/632 Jadi timbulnya KERUSAKAN seperti TERJERUMUS KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD akibat orang awam TERKELABUI dengan LABEL mazhab atau manhaj Salaf dan penisbatan atau tepatnya PELABELAN Salafi maupun Atsari Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan mereka membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in lalu dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan DILABELI MAZHAB SALAF atau MANHAJ SALAF Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafush Sholeh. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR. Begitupula pengertian ahlussunnah versi mereka adalah ahli membaca sunnah yakni ahli membaca hadits secara shahafi otodidak menurut akal pikiran mereka sendiri dan TAQLID mengikuti MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah W 728H sebelum bertaubat SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK atau MELARANG TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ. Ada seseorang bertanya kepada Albani “Apakah anda ahli hadits muhaddits?”Albani menjawab “Ya!”Ia bertanya “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”Albani menjawab “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”Orang tadi berkata “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”Lalu Albani terdiamdari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6 Ahli membaca hadits, Albani mengakui bahwa Beliau adalah ahli hadits kitab bukan penghafal hadits. Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk sayyi’ al-hifdzi maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli membaca hadits Albani yang tidak didasari dengan Dlabit’ akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan. Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli membaca hadits secara shahafi otodidak. Sedangkan ahli hadits sesungguhnya menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada para perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari lisannya Rasulullah. Imam Ibnu Hajar al-Haitami mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan bagi ahli membaca hadits adalah hadits Nuzul yakni, “Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” HR Muslim 1261 Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa, ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لايعرف إلا مجرد الحديث ، فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث . بل ومتأخريهم ، كابن تيمية وأتباعه “tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah W 728 H sebelum bertaubat ketika membaca hadits Nuzul sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” kitab karya Ibnu Taimiyyah **** awal kutipan ****Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al Arsiyyah “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas arsy adalah dalil yang muhkam dalil yang umum dan sudah jelas maknanya , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam.***** akhir kutipan ***** Ibnu Taimiyyah terjerumus MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN nuzul dengan mengatakan bahwa “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan arsy-Nya KOSONG” Begitupula ini adalah sebuah contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah dalam perkara i’tiqod karena tidak pernah disabdakan Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafush Sholeh. Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah. Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat mengatakan bahwa Nabi Muhammad DIDUDUKAN oleh Allah di atas Arsy bersama-Nya Majmu Fatawa juz 4, dan contoh kajiannya dalam video pada Begitupula Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat juga berkata, – Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN Muwafaqat Sharih al Ma’qul h 29 – Tuhan BERTEMPAT di langit dan dia diliputi dan DIBATASI oleh langit Muwafaqat Sharih al Ma’qul h 30 sebagaimana contoh tulisan mereka yang sempat diarsip pada Contoh kabar pertaubatan Ibnu Taimiyyah pada Begitupula sifat keterpisahan bagi Allah Ta’ala dengan makhluk BUKANLAH menjauh secara hissi materi / fisikal dalam pengertian batasan, arah, jarak maupun tempat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa, juz 2, Para ulama terdahulu seperti Syekh Ibnu Khaldun 808 H dalam kitab Târîkh-nya menjelaskan ***** awal kutipan ******وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة Adapun makna keterpisahan mubayanah bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan فيقال البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.***** akhir kutipan ***** Jadi pengertian keterpisahan mubayanah bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah Allah ba’in an al-khalq yakni Allah Ta’ala TERPISAH dalam makna BERBEDA dari makhluk-makhluk-Nya Contohnya kalau makhlukNya seperti manusia itu dekat BERSENTUH dan jauh BERJARAK, sedangkan Allah Ta’ala itu dekat TIDAK BERSENTUH dan jauh TIDAK BERJARAK sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat QS Al Baqarah [2] 186 Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 dengan JELAS dan TEGAS menuliskan apa yang telah disepakati oleh para ahlus sunnah, أنهم يقولون إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية Mereka ahlus sunnah berkata, “Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd TIDAK TERBATAS dan TIDAK BERJARAK” Begitupula Imam Abul Wahid At Tamimi W 410 H ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau “I’tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal hal 38; والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش “Dan Allah Ta’ala tidak mengalami perubahan dan TIDAK TERBATAS oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy”. Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود ”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud TERBATAS maka ia telah JAHIL yakni TIDAK MENGENAL Tuhan Sang Pencipta.” Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73 Jadi orang-orang yang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN ISTAWA Allah sebagai ISTAQARRA yang artinya BERADA atau BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI atau bahkan MELAYANG TINGGI di atas Arsy sehingga mereka terjerumus Aashin durhaka kepada Allah yakni mereka seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang JAHIL yakni BELUM MENGENAL Allah makrifatullah dengan sebenar keagungan-Nya. Oleh karenanya perkara aqidah sebaiknya didahulukan karena tidak sah ibadah jika belum mengenal Allah makrifatullah Hujjatul Islam Imam Al Ghazali berkata لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود “Tidak sah ibadah seorang hamba kecuali setelah mengetahui mengenal Allah yang wajib disembah”. “Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah” artinya, awal beragama adalah mengenal Allah makrifatullah dan tujuan akhir beragama adalah menyaksikan Allah makrifatullah dengan hati ain bashirah Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin lima puluh aqidah dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah yang merupakan hasil istiqro telaah para ulama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sebagaimana yang telah disampaikan pada Begitupula 20 sifat wajib bagi Allah dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat banyak makna tentang sifat-sifat Allah. Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa orang-orang yang KELIRU dalam berijtihad dan beristinbat karena MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR akan berakibat dua macam KEKUFURAN yakni, 1. KEKUFURAN dalam PERKARA FIQIH yakni mereka yang melarang mengharamkan yang tidak dilarang diharamkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau SEBALIKNYA mereka mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan pada 2. KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD atau AKIDAH seperti para PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah W 728H yang menjadi rujukan bagi paham Wahabi WAHABISME yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab W 1206H sebagaimana yang telah disampaikan pada KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD bukan kafir dalam arti membatalkan keislaman namun terkait dengan tingkat keimanan. Syekh Nawawi al Bantani W 1314 H dalam kitab Kasyifah as-Saja Fi Syarhi Safinah an-Naja menjelaskan ada lima tingkatan iman. Pertama, iman taqlid yaitu mantap dan percaya dengan ucapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini dianggap sah keimanannya. Tetapi berdosa karena meninggalkan upaya mencari dalil apabila orang tersebut mampu untuk menemukannya. Kedua, iman ilmi yaitu mengetahui akidah-akidah beserta dalil-dalilnya. Tingkatan keimanan ini disebut ilmu yaqin. Menurut Syekh Nawawi Al Bantani, orang yang memiliki keimanan tingkat pertama dan kedua termasuk orang yang masih terhalang jauh dari Allah Ta’ala. Ketiga, iman irfan yaitu mengetahui Allah dengan pengawasan hati. Oleh karena itu Allah tidak hilang dari hati sekedip mata pun karena rasa takut kepada-Nya selalu ada di hati. Sehingga seolah-olah orang yang memiliki tingkatan keimanan ini melihat Allah di maqom muroqobah atau derajat pengawasan hati. Tingkat keimanan ini disebut dengan ainul yaqin. Keempat, iman haq yaitu melihat Allah dengan hati. Tingkatan keimanan ini seperti yang disampaikan para ulama, yakni orang yang makrifat. Tingkat keimanan ini berada di maqom musyahadah dan disebut dengan haq al-yaqiin. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini adalah orang yang terhalang jauh dari selain Allah. Kelima, iman hakikat yaitu sirna bersama Allah dan mabuk karena cinta kepada-Nya. Oleh karena itu, orang yang memiliki tingkatan keimanan ini hanya melihat Allah seperti orang yang tenggelam di dalam lautan dan tidak melihat adanya tepi pantai sama sekali. Syaikh Ibnu Athaillah berkata dalam Al Hikam bahwa “Tuhanmu tidak terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga engkau tidak dapat memandang-Nya. Kalau Dia terhijab berarti Dia tertutupi oleh sesuatu. Jika Dia tertutup sesuatu, berarti wujud-Nya terbatas. Segala yang terbatas adalah lemah, sedang Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka. Rasulullah bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” HR Ahmad Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang terhijab dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan barangsiapa yang buta hatinya di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan yang benar.” QS Al Isra 17 72 “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” al Hajj 22 46 Jadi tidak semua manusia dapat memandang Allah dengan hatinya Orang kafir itu tidak dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya hidayah oleh KEGELAPAN sesat. Ahli maksiat tidak dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taqwa oleh KEGELAPAN alpa Ahli Ibadahpun boleh terjadi tidak dapat memandang Allah dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh KEGELAPAN memandang ibadahnya. Begitupula orang-orang yang mengatakan atau berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy AKIBAT MENTAKWIL ISTAWA dengan ISTAQARRA yang artinya BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI di atas Arsy atau BERADA di arah atas secara hissi inderawi / materi / fisikal menurut Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar ADALAH orang-orang yang belum dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya ain bashirah AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI ***** awal kutipan *****Sebab, kata mereka sesuatu yang tidak dinisbahkan ke suatu arah dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “tidak ada” karena tidak dapat dikhayalkan. Orang-orang seperti ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang ma’qûl dapat dicerna oleh akal ialah kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.***** akhir kutipan ***** Mereka memang ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam. Berikut kutipan tulisan mereka, ****** awal kutipan ******Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.***** akhir kutipan ****** Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”. Adapula yang lain menamakannya makan adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan” Ironisnya keyakinan i’tiqod/akidah mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” makan adami dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf Padahal istilah “bukan tempat” atau makan adami tempat ketiadaan tidak pernah diriwayatkan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits. Imam Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i W 465 H atau yang dikenal dengan Imam Al Qusyairi dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa, Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi materi/fisikal arah atas jihah adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihat Allah dengan hatinya ain bashirah. Rasulullah melihat Allah dengan hatinya ain bashirah. قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya Azza wa Jalla dengan hatinya HR Muslim 257 atau Syarh Shahih Muslim 176, HR Tirmidzi 3203 Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? Beliau menjawab, Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya makrifatullah, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” HR Muslim 11 Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya ain bashirah atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar. Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN. Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan jiwa tazkiyatun nafs yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela TAKHALLI kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji TAHALLI sampai titik hitam dosa pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla dekat dan dapat disaksikan dipandang dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan muhsin/muhsinin/sholihin maka diperolehlah kenyataan Tuhan TAJALLI. Tajalliyat adalah tersingkapnya hijab yang membatasi manusia dengan Allah, sehingga nyata dan terang cahaya dan kebesaran Allah dalam jiwa. Dengan mudah jiwa akan menerima nur ilahi berupa hidayah dan ma’unah dari Allah untuk senantiasa bersikap terpuji dan berakhlak mulia dalam hidup sehari-hari. Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya ain bashiroh Oleh karenanya orang-orang yang BERAKHLAK BURUK seperti mereka yang terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK kebenaran BERKAITAN dengan akhlak buruk mereka kepada Allah Ta’ala yakni orang-orang yang Aashin DURHAKA kepada Allah karena mereka “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan menetapkan arah jihah atau tempat bagi Allah di atas Arsy AKIBAT mereka belum dapat memandang Allah dengan hatinya ain bashirah. Jadi mereka yang “menjauhkan” Allah adalah orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN dan MENOLAK KEBENARAN Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“ Rasulullah bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” HR. Muslim Syekh Ihsan Jampes W 1952 M dalam kitabnya Siraj al-Talibin syarh atas kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali W 1111 M menjelaskan bahwa melihat Allah tidak hanya kelak di akhirat saja namun para kekasih Allah wali Allah juga dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia. Hal ini disebut karamah keistemewaan para Wali Allah. Karamah para Wali Allah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati mereka ain bashirah di dunia dapat dialami oleh mereka dalam kondisi terjaga maupun tidak. Jadi melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati mereka ain bashirah di dunia tidak dapat dialami oleh semua orang. Hanya orang-orang pilihan yang dikehendakiNya yang dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia. Syekh Ihsan Jampes menjelaskan bahwa pengertian wahdah al wujud atau wahdatul wujud bukanlah bersatunya wujud Tuhan dan manusia namun para wali Allah yang berhadapan dan menyaksikan Allah dengan hati mereka menyampaikan bahwa mereka tidak menyaksikan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala itu wujud. Para ulama Allah menyebutnya maqom Musyahadah artinya ruang kesaksian. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan syahadat namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwa, “tiada tuhan selain Allah” atau dengan kata lain “Selain Allah Ta’ala itu tiada” . Syekh Ihsan Jampes menjelaskan bahwa wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala bersifat dzati bukan disebabkan sesuatu dan tanpa kecacatan. Sedangkan wujud kita merupakan atas fi’il Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala ada, dan tidak diwujudkan oleh atau suatu sebab. Sedangkan makhluk yang ada karena disebabkan sesuatu. Seperti manusia yang ada karena dilahirkan oleh seorang ibu. Inilah yang kemudian disebut wujud yang tidak bersifat dzati. Begitupula Al-Hakim al-Tirmidzi 205-320 H/ 820-935 M ketika menjelaskan tentang maqamat al-walayah derajat kedekatan para kekasih Allah atau Wali Allah menyampaikan bahwa para wali Allah yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun telah sempurna tingkat kewalian mereka. Hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi di hadapan-Nya. Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menggunakan istilah liyufrida agar manunggal / merasakan kemanunggalan dan tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti yang “dinisbatkan” kepada Ibn Arabi dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah atau ketiadaan ke-fana-an sesorang wali Allah dihadapan Allah Ta’ala. Sedangkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di dalam kitab sir al-asrar menyampaikan bahwa orang yang sampai pada tahapan mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata “jika Aku sudah MENCINTAINYA, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. HR Bukhari 6021 Syekh Abdul Qadir Jailani menjelaskan lebih lanjut bahwa setelah orang yang mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah Ta’ala, mereka fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi baqa’ bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya. Syekh Abdul Qadir Jailani berhati-hati untuk mengungkapkanya agar tidak disalah pahami menjelaskan bahwa keabadian manusia bersama Tuhannya adalah disebabkan amal kebaikannya atau amal salehnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ سورة فاطر ١٠ Artinya “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” QS. Fathir10 Jadi dengan amal kebaikanlah para kekasih Allah wali Allah memperjalankan diri mereka hingga sampai wushul kepada Allah Ta’ala yakni bertemu, berhadapan dan menyaksikan Allah dengan hati mereka. Wassalam Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830 KhutbahJumat Bulan Rajab: Allah Ada Tanpa Tempat Source link . Ada Allah Bulan jumat Khutbah khutbah jumat bulan rajab rajab Tanpa Tempat. Tweet; Share; Plus one; Share; Email; Related Posts. Ketum PBNU Laporkan Capaian Program 2020-2021. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj melaporkan berbagai capaian Download kitab aqidah ini ada 111 halaman, dalam bhs indonesia, penerbit syahamah press dgn kata pengantar ulama2 sunni Allah Tanpa Tempat dan Arah Allah ta’ala berfirman “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. as-Syura 11 Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam makhluk Allah terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard, dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian jisim. Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam; 1. Benda Lathif sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya. 2. Benda Katsif sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya. Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi panjang, lebar dan kedalaman. Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda “Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud. Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan, tidak ada sesuatu selain-Nya bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru makhluk. Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata “Allah ta’ala ada pada azal keberadaan tanpa permulaan dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”. Al Imam Fakhruddin ibn Asakir W. 620 H dalam risalah aqidahnya mengatakan “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Al Imam al Bayhaqi W. 458 H dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu alayhi wa sallam Maknanya “Engkau azh-Zhahir yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya, tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin yang tidak dapat dibayangkan tidak ada sesuatu di bawah-Mu” Muslim dan lainnya. Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”. Hadits Jariyah Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya member persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Sementara riwayat hadits Jariyah yang maknanya shahih adalah Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia budak menjawab “Ya”, Rasulullah berkata kepadanya Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul utusan Allah? Ia menjawab “Ya”, kemudian Rasulullah berkata Apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab “Ya”, kemudian Rasulullah berkata Merdekakanlah dia”. Al Hafizh al Haytsami W. 807 H dalam kitabnya Majma’ az-Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”. Riwayat inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain. Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas Arsy atau ada di mana-mana Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- Maknanya “Allah ada pada azal dan belum ada tempat dan Dia Allah sekarang setelah menciptakan tempat tetap seperti semula, ada tanpa tempat” Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333. Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani W. 973 H dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”. Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat. Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang maknanya “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy makhluk Allah yang paling besar untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333 Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya “Sesungguhnya yang menciptakan ayna tempat tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana pertanyaan tentang tempat, dan yang menciptakan kayfa sifat-sifat makhluk tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana” diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98. A llah Maha suci dari Hadd Maknanya Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud sesuatu yang berukuran adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd batasan menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela mempunyai ukuran demikian juga Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran. Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang maknanya “Barang siapa beranggapan berkeyakinan bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah belum beriman kepada-Nya” diriwayatkan oleh Abu Nu’aym W. 430 H dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72. Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran. Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengatakan “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda. Al Imam As-Sajjad Zayn al Abidin Ali ibn al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib 38 H-94 H berkata “Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat”, dan dia berkata “Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd benda, bentuk, dan ukuran”, beliau juga berkata “Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah. Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul. Bantahan Ahlussunnah terhadap Keyakinan Tasybih; bahwa Allah bertempat, duduk atau bersemayam di atas Arsy. Al Imam Abu Hanifah -semoga Allah meridlainya- berkata “Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir”. diriwayatkan oleh al Maturidi dan lainnya. Al Imam Syekh al Izz ibn Abd as-Salam asy-Syafi’i dalam kitabnya “Hall ar-Rumuz” menjelaskan maksud Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan “Karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Demikian juga dijelaskan maksud Imam Abu Hanifah ini oleh al Bayadli al Hanafi dalam Isyarat al Maram. Al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi W. 597 H mengatakan dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih Maknanya “Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat dan arah maka ia adalah Musyabbih orang yang menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya dan Mujassim orang yang meyakini bahwa Allah adalah jisim benda yang tidak mengetahui sifat Allah”. Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani W. 852 H dalam Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari mengatakan “Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat”. Di dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir, jilid II, h. 259 tertulis sebagai berikut “Adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta’ala “. Juga dalam kitab Kifayah al Akhyar karya al Imam Taqiyyuddin al Hushni W. 829 H, Jilid II, h. 202, Cetakan Dar al Fikr, tertulis sebagai berikut “… hanya saja an-Nawawi menyatakan dalam bab Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah adalah kafir, Saya al Hushni berkata “Inilah kebenaran yang tidak dibenarkan selainnya, karena tajsim menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim –benda- jelas menyalahi al Qur’an. Semoga Allah memerangi golongan Mujassimah dan Mu’aththilah golongan yang menafikan sifat-sifat Allah, alangkah beraninya mereka menentang Allah yang berfirman tentang Dzat-Nya asy-Syura 11 Maknanya “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia disifati dengan sifat pendengaran dan penglihatan yang tidak menyerupai pendengaran dan penglihatan makhluk-Nya”. Ayat ini jelas membantah kedua golongan tersebut”. Imam Abu Hanifah Mensucikan Allah dari Arah Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- dalam kitabnya al Washiyyah berkata yang maknanya “Bahwa penduduk surga melihat Allah ta’ala adalah perkara yang haqq pasti terjadi tanpa Allah disifati dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa Allah berada di suatu arah” Ini adalah penegasan al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- bahwa beliau menafikan arah dari Allah ta’ala dan ini menjelaskan kepada kita bahwa ulama salaf mensucikan Allah dari tempat dan arah. Imam Malik Mensucikan Allah dari sifat Duduk, Bersemayam atau semacamnya Al Imam Malik –semoga Allah meridlainya– berkata “Ar-Rahman ala al Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat hakekat-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana, dan kayfa sifat-sifat makhluk adalah mustahil bagi-Nya” Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa ash-Shifat. Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam, berada di suatu tempat dan arah dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wa al Kayf Majhul adalah tidak benar dan Al Imam Malik tidak pernah mengatakannya. Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya– berkata “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya Allah hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, kafir. Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan yang mengaturnya maka dia adalah mu’aththil -atheis- orang yang meniadakan Allah. Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid orang yang mentauhidkan Allah; muslim”. Diriwayatkan oleh al Bayhaqi danlainnya Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim Dzu an-Nun al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik -semoga Allah meridlai keduanya- berkata “Apapun yang terlintas dalam benakmu tentang Allah maka Allah tidak menyerupai itu sesuatu yang terlintas dalam benak” Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan al Khathib al Baghdadi Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda Syekh Ibn Hajar al Haytami W. 974 H dalam al Minhaj al-Qawim h. 64, mengatakan “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut kekufuran”. Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan “Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi W. 794 H, seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’I dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal. Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”. As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- 227-321 H berkata “Maha suci Allah dari batas-batas bentuk kecil maupunbesar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar seperti wajah, tangan dan lainnya maupun anggota badan yang kecil seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya. Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ konsensus para sahabat dan Salaf orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi’raj adalah memuliakan Rasulullah shalalllahu alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Isra ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang kepada Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam di saat mi’rajadalah Jibril alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari W. 256 H dan lainnya dari as-Sayyidah Aisyah -semoga Allah meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab Mi’raj Ibnu Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya. Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al Imam al Mutawalli W. 478 H dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali W. 505 H dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi W. 676 H dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki W. 756 H dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi. Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ konsensus kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-Suyuthi W. 911 H dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya, juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi W. 297 H, al Imam Ahmad ar-Rifa’i W. 578 H, Syekh Abdul Qadir al Jilani W. 561 H dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul. Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan “Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”. Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa dan sebagainya. Maka orang yang mengatakan bahwa bahasa Arab atau bahasa-bahasa selain bahasa Arab adalah bahasa Allah atau mengatakan bahwa kalam Allah yang azali tidak mempunyai permulaan dengan huruf, suara atau semacamnya, dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dan barang siapa yang menyifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat manusia seperti yang tersebut di atas atau semacamnya ia telah terjerumus dalam kekufuran. Begitu juga orang yang meyakini Hulul dan Wahdah al Wujud telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Imam Abul Hasan al Asy’ari Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari W. 324 H –semoga Allah meridlainya- berkata “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat.1 Beliau juga mengatakan 1 Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut. “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ta’ala di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan al Imam al Asy’ari ini dinukil oleh al Imam Ibnu Furak W. 406 H dalam karyanya al Mujarrad. Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Al Imam Ahmad ar-Rifa’i W. 578 H dalam al Burhan al Muayyad berkata “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”. Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam yang dalam bahasa arab mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, akan tetapi wajib dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur’an pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya. Ayat Istiwa’ Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara zhahirnya adalah firman Allah ta’ala surat Thaha 5 Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk jalasa atau bersemayam atau berada di atas Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi W. 458 H, al Imam al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki W. 756 H dan al Hafizh Ibnu Hajar W. 852 H dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri dalam bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut harus ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat Muhkamat. Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata sinonim yang mewakili 15 makna tersebut. Yang diperbolehkan adalah menerjemahkan maknanya, makna kata istawa dalam ayat tersebut adalah qahara menundukkan atau menguasai. Dengan ini diketahui bahwa tidak boleh berpegangan kepada “al Qur’an dan Terjemahnya” yang dicetak oleh Saudi Arabia karena di dalamnya banyak terdapat penafsiran dan terjemahan yang menyalahi aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti ketika mereka menerjemahkan istawa dengan bersemayam, padahal Allah maha suci dari duduk, bersemayam dan semua sifat makhluk. Mereka juga menafsirkan Kursi dalam surat al Baqarah255 dengan tempat letak telapak kaki-Nya, padahal Allah maha suci dari anggota badan, kecil maupun besar, seperti ditegaskan oleh al Imam ath-Thahawi dalam al Aqidah ath-Thahawiyyah. Al Imam Ali –semoga Allah meridlainya- mengatakan “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”. Maka ayat tersebut di atas surat Thaha 5 boleh ditafsirkan dengan qahara menundukkan dan menguasai yakni Allah menguasai Arsy sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya. Karena al Qahr adalah merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan dzat-Nya al Qahir dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan anak-anak mereka Abdul Qahir dan Abdul Qahhar. Tidak seorangpun dari umat Islam yang menamakan anaknya Abd al jalis al jalis adalah nama bagi yang duduk. Karena duduk adalah sifat yang sama-sama dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan malaikat. Penafsiran di atas tidak berarti bahwa Allah sebelum itu tidak menguasai arsy kemudian menguasainya, karena al Qahr adalah sifat Allah yang azali tidak mempunyai permulaan sedangkan arsy adalah merupakan makhluk yang baru yang mempunyai permulaan. Dalam ayat ini, Allah menyebut arsy secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Riwayat yang Sahih dari Imam Malik tentang Ayat Istiwa’ Al Imam Malik ditanya mengenai ayat tersebut di atas, kemudian beliau menjawab Maknanya “Dan tidak boleh dikatakan bagaimana dan al kayf /bagaimana sifat-sifat benda mustahil bagi Allah”. diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wal Kayf Majhul adalah tidak benar. Penegasan Imam Syafi’i tentang Orang yang Berkeyakinan Allah duduk di atas Arsy Ibn al Mu’allim al Qurasyi W. 725 H menyebutkan dalam karyanya Najm al Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm ad-Din dalam kitabnya Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih bahwa ia menukil dari al Qadli Husayn W. 462 H bahwa al Imam asy-Syafi’I menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas arsy dan tidak boleh shalat makmum di belakangnya. Ulama Ahlussunnah yang Mentakwil Istiwa’ Kalangan yang mentakwil istawa dengan qahara adalah para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di antaranya adalah al Imam Abdullah ibn Yahya ibn al Mubarak W. 237 H dalam kitabnya Gharib al Qur’an wa Tafsiruhu, al Imam Abu Manshur al Maturidi al Hanafi W. 333 H dalam kitabnya Ta’wilat Ahlussunnah Wal Jama’ah, az-Zajjaj, seorang pakar bahasa Arab W. 340 H dalam kitabnya Isytiqaq Asma Allah, al Ghazali asy-Syafi’i W. 505 H dalam al Ihya, al Hafizh Ibn al Jawzi al Hanbali W. 597 H dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih, al Imam Abu Amr ibn al Hajib al Maliki W. 646 H dalam al Amaali an-Nahwiyyah, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Termasi al Indonesi asy-Syafi’i W. 1285-1338 H dalam Mawhibah dzi al Fadll, Syekh Muhammad Nawawi al Jawi al Indonesi asy-Syafi’i W. 1314 H-1897 dalam kitabnya at-Tafsir al Munir dan masih banyak lagi yang lainnya. Inkonsistensi Orang yang Memahami Ayat Istiwa’ secara Zhahirnya Dan orang yang mengambil ayat mutasyabihat ini secara zhahirnya, apakah yang akan ia katakan tentang ayat 115 surat al Baqarah Jika orang itu mengambil zhahir ayat ini berarti maknanya “ke arah manapun kalian menghadap, di belahan bumi manapun, niscayaAllah ada di sana”. Dengan ini berarti keyakinannya saling bertentangan. Akan tetapi makna ayat di atas bahwa seorang musafir yang sedang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan, ke arah manapun hewan tunggangan itu menghadap selama arah tersebut adalah arah tujuannya maka – فثم وجه الله – di sanalah kiblat Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid W. 102 H murid Ibn Abbas. Takwil Mujahid ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa ash-Shifat. Ibnu katsir membungkam wahhaby 2 Tafsir ayat “istiwa” Ibnu katsir membungkam wahhaby 2 Tafsir ayat “istiwa” Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimahyang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya.Atau akan terjerumus dalam ta’thil yang menolak sifat-sifat Allah SWT .Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat . Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT. Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini. Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits. Perhatian 1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja. 2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulusalaf dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf.. 3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’ tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesarseperti bola dan semua mkhluk yang lain di mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan adamitempat yang tidak ada.Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’idtakwil salah mereka yang jauh dari kebenaran. Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala a’lam bishshowab A. Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar lihat dalam tafsir berikut 1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295 Tarjamahannya lihat bagian yang di line merah {kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna membuka/menjelaskannya lafadz istiwa dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz istawa tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif memerincikan bagaimananya dan tanpa tasybih penyerupaan dgn makhluq dan tanpa ta’thilmenafikan dan memaknai lafadz istiwa dengan makna dhahir yang difahami menjerumuskan kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari sifat Allah yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…” Wahai mujasimmah wahhaby!! lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah! bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!! Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi ““Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih penyerupaan orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih jelas/ayat muhkamat dan berita-berita hadits yang shahih dengan pengertian sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.” Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu penjelasan ibnu katsir – Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif ayat muhkamat atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata! – ibnu katsir mengakui ayat istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut. – disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil. “…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan lafadznya seperti apa yang telah datang maksudnya tanpa memperincikan maknanyatanpa takyif bagaimana, gambaran, tanpa tasybih penyerupaan, dan tanpa ta’thil menafikan….” sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil! 2. Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d 1- Tafsir al Qurtubi ثم استوى على العرش dengan makna penjagaan dan penguasaan 2- Tafsir al-Jalalain ثم استوى على العرش istiwa yang layak bagi Nya 3- Tafsir an-Nasafi Maknanya makna ثم استوى على العرش adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain… 4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2 ثم استوى على العرش telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang tanpa memrincikan maknanya tanpa kaifiatbentuk dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya 1-masak boleh di makan contoh قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya makanan telah masak—buah epal telah masak 2- التمام sempurna, lengkap 3- الاعتدال lurus 4- جلس duduk / bersemayam, contoh – استوى الطالب على الكرسي pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير raja bersemayam di atas katil 5- استولى menguasai, contoh قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق Maknanya Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah. Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir? sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi wafat 321 hijrah ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر Maknanya barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته Maknanya Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya. Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus. III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda *Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah 673-748H . Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” Nama kitab Al-Kabair. Pengarang Al-Hafiz Az-Zahabi. Cetakan Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi “Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah …sekiranya seseorang itu menyatakan Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142. Syekh Ibn Hajar al Haytami W. 974 H dalam al Minhaj al Qawim h. 64, mengatakan “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut kekufuran”. Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan “Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi W. 794 H, seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal. Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”. As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- 227-321 H berkata “Maha suci Allah dari batas-batas bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar seperti wajah, tangan dan lainnya maupun anggota badan yang kecil seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya. Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ konsensus para sahabat dan Salaf orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. III. ulamak 4 mazhab tentang aqidah 1- Imam Abu hanifah لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه Maknanya Allah tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1. IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY. Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas “ Berkata Imam Abu Hanifah Dan kami ulama Islam mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat. Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayamduduk Allah di atas Arasy. Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam. 2-Imam Syafie انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير Maknanya sesungguhnya Dia Ta’ala ada dari azali dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23 3-Imam Ahmad bin Hanbal -استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر Maknanya Dia Allah istawa sepertimana Dia khabarkan di dalam al Quran, bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad. وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه Maknanya dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini Ahmad bin Hanbal bahawa dia ada mengatakan tentang Allah berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnyaImam Ahmad Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami 4- Imam Malik الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة Maknannya Kalimah istiwa’ tidak majhul diketahui dalam al quran dan kaifbentuk tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah. lihat disini imam malik hanya menulis kata istiwa لاستواء bukan memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat istiqrar….. Bersambung …. Filed under Aqidah shohih Allah ada tanpa tempat dan arah Artinya “Allah telah ada sedangkan yang lain tidak ada”. Ini artinya, Allah Swt wujud tanpa tempat. Sebab, Allah sudah ada pada saat tempat belum tercipta. Kalau Ibnu Abdil Barr bersikukuh menyatakan bahwa yang tak bertempat maka tidak ada, maka itu sama artinya beliau mengatakan bahwa dulu sebelum ada tempat asalnya Allah tidak ada juga.
IV. KONSENSUS ULAMA AHLUSSUNNAH1. Konsensus Para Sahabat dan Imam “Allah Ada Tanpa Tempat” Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyalahinya. 1. Al-Imam Ali ibn Abi Thalib w 40 H berkata كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333. Beliau juga berkata إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ “Sesungguhnya Allah menciptakan arsy makhluk Allah yang paling besar bentuknya untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333. 2. Seorang tabi’in yang agung, Al-Imam Zainal-Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib w 94 H berkata أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ “Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat” Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin, j. 4, h. 380. Juga berkata أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا “Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran” Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin, j. 4, h. 380. 3. Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal Abidin Ali ibn al-Husain w 148 H berkata مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا أىْ مَخْلُوْقًا “Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-” Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 6. 4. Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit w 150 H, salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة. “Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri” Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137. Juga berkata قُلْتُ أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ. “Aku katakan Tahukah engkau jika ada orang berkata Di manakah Allah? Jawab Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” Lihat al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20. Juga berkata وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا. “Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman Ala al-Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.. Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyyah sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada mereka Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari para ulama tabi’in, dan para ulama tabi’in tersebut telah mengambil pelajaran dari para sahabat Rasulullah. Adapun ungkapan Imam Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi!?”, demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata “Allah di atas arsy, dan aku tidak tahu arah arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”, hal ini karena kedua ungkapan tersebut menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang mengatakan demikian. Karena setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga baharu. Maksud ungkapan Imam Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang disalahpahami oleh orang-orang Musyabbihah bahwa Allah berada di atas langit atau di atas arsy. Justru sebaliknya, maksud ungkapan beliau ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sebagaimana dalam ungkapan-ungkapan beliau sendiri yang telah kita tulis di atas. Maksud dua ungkapan Imam Abu Hanifah di atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya” Dikutip oleh Mulla Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198. Pernyataan Imam al-Izz ibn Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla Ali al-Qari. Ia berkata “Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ibn Abdissalam adalah orang yang paling paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah tersebut. Karenanya kita wajib membenarkan apa yang telah beliau nyatakan” Lihat Mulla Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 198. 5. Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris as-Syafi’i w 204 H, perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan فصل وَاعْلَمُوْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْلُ عَلَيْهِ هُوَ أنّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ عَلَى صِفَةِ الأزَلِيّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغَيُّرُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّلُ فِي صِفَاتِهِ، وَلأنّ مَنْ لَهُ مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ مَحْدُوْدًا، وَالْمَحْدُوْدُ مَخْلُوْقٌ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك لاَ يَتِمّ إلاّ بالْمُبَاشَرَةِ والاتّصَالِ والانْفِصَال. “Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13. Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha 5, al-Imam as-Syafi’i menuliskan sebagai berikut فَإنْ قِيْل أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى، يُقَال إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ. “Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman “ar-Rahman Ala al-Arsy Istawa”? Jawab Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13. 6. Al-Imam al-Mujtahid Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal w 241 H, perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ. “Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144 2. Pernyataan Para Imam Muhaddits dan Ulama Tentang Kekufuran Orang Yang Menetapkan Tempat Bagi Allah Berikut ini adalah adalah pernyataan para ulama Ahlussunnah dalam menetapkan kekufuran orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada tempat dan arah, seperti mereka yang menetapkan arah atas bagi-Nya, atau bahwa Dia berada di langit, atau berada di atas arsy, atau mereka yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat. Berikut nama ulama Ahlussunnah dengan pernyataan mereka di dalam karyanya masing-masing yang kita sebutkan di sini hanya sebagian kecil saja. • Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi w 150 H, atau yang lebih dikenal sebagai Imam Hanafi Imam agung perintis madzhab Hanafi, dalam salah satu karyanya berjudul al-Fiqh al-Absath menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada di langit telah menjadi kafir. Al-Imâm Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu Tuhanku Allah apakah ia berada di langit atau berada di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkata “Allah berada di atas arsy, dan saya tidak tahu apakah arsy berada di langit atau berada di bumi?!” al-Fiqh al-Absath, h. 12 Lihat dalam kumpulan risalah al-Imâm Abu Hanifah yang di-tahqiq oleh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari . • Pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas lalu dijelaskan oleh al-Imâm asy-Syaikh al-Izz ibn Abd as-Salam w 660 H dalam karyanya berjudul Hall ar-Rumuz sekaligus disepakatinya bahwa orang yang berkata demikian itu telah menjadi kafir, adalah karena orang tersebut telah menetapkan tempat bagi Allah. Al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam menuliskan “Hal itu menjadikan dia kafir karena perkataan demikian memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat, dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka dia adalah seorang Musyabbih Seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya” Dikutip oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari dalam kitab Syrah al-Fiqh al-Akbar, h. 198. • Pemahaman pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam telah dikutip pula oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari’ w 1014 H dalam karyanya Syarh al-Fiqh al-Akbar sekaligus disetujuinya. Tentang hal ini beliau menuliskan sebagai berikut “Tidak diragukan lagi kebenaran apa yang telah dinyatakan oleh al-Izz Ibn Abd as-Salam –dalam memahami maksud perkataan al-Imâm Abu Hanifah–, beliau adalah ulama terkemuka dan sangat terpercaya. Dengan demikian wajib berpegang teguh dengan apa yang telah beliau nyatakan ini” Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198. • Al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh Abu Ja’far ath-Thahawi w 321 H dalam risalah akidahnya; al-Aqidah ath-Thahawiyyah, yang sangat terkenal sebagai risalah akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, menuliskan sebagai berikut “Barangsiapa mensifati Allah dengan satu sifat saja dari sifat-sifat manusia maka orang ini telah menjadi kafir” Lihat matan al-Aqidah ath-Thahawiyyah. • Salah seorang sufi terkemuka, al-Arif Billah al-Imâm Abu al-Qasim al-Qusyairi w 465 H dalam karya fenomenalnya berjudul ar-Risalah al-Qusyairiyyah menuliskan sebagai berikut “Aku telah mendengar al-Imâm Abu Bakr ibn Furak berkata Aku telah mendengar Abu Utsman al-Maghribi berkata Dahulu aku pernah berkeyakinan sedikit tentang adanya arah bagi Allah, namun ketika aku masuk ke kota Baghdad keyakinan itu telah hilang dari hatiku. Lalu aku menulis surat kepada teman-temanku yang berada di Mekah, aku katakan kepada mereka bahwa aku sekarang telah memperbaharui Islamku” ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 5. • Teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah al-Imâm Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi al-Hanafi w 508 H dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan sebagai berikut “Allah telah menafikan keserupaan antara Dia sendiri dengan segala apapun dari makhluk-Nya. Dengan demikian pendapat yang menetapkan adanya tempat bagi Allah adalah pendapat yang telah menentang ayat muhkam; yaitu firman-Nya “Laysa Kamitslihi Syai’” QS. asy-Syura 11. Ayat ini sangat jelas pemaknaannya dan tidak dimungkinkan memiliki pemahaman lain takwil. Dan barangsiapa menentang ayat-ayat al-Qur’an maka ia telah menjadi kafir. Semoga Allah memelihara kita dari kekufuran” Tabshirah al-Adillah Fi Ushuliddin, j. 1, h. 169. • Asy-Syaikh al-Allâmah Zainuddin Ibn Nujaim al-Hanafi w 970 H dalam karyanya berjudul al-Bahr ar-Ra-iq Syarh Kanz ad-Daqa-iq berkata “Seseorang menjadi kafir karena berkeyakinan adanya tempat bagi Allah. Adapun jika ia berkata “Allah Fi as-Sama’” untuk tujuan meriwayatkan apa yang secara zhahir terdapat dalam beberapa hadits maka ia tidak kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan tempat bagi Allah maka ia telah menjadi kafir” al-Bahr ar-Ra-iq Syarh Kanz ad-Daqa-iq, j. 5, h. 129. • Asy-Syaikh al-Allâmah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy-Syafi’i al-Asy’ari w 974 H yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhaj al-Qawim Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut “Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al-Imâm Ahmad dan al-Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa orang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua para Imam madzhab tersebut telah benar-benar menyatakan demikian” al-Minhaj al-Qawim Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224. • Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari menuliskan sebagai berikut “Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir” Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 215. Masih dalam kitab yang sama, Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman yang ada pada dirinya” Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 271-272. Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, Syaikh Ali Mulla al-Qari’ menuliskan sebagai berikut “Bahkan mereka semua –ulama Salaf– dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi. Beliau al-Iraqi berkata Klaim kafir terhadap orang yang telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik, al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Baqillani” Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, j. 3, h. 300. • Asy-Syaikh al-Allâmah Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi w 1098 H dalam karyanya berjudul Isyarat al-Maram Min Ibarat al-Imâm, sebuah kitab akidah dalam menjelaskan perkataan-perkataan al-Imâm Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut “Beliau al-Imâm Abu Hanifah berkata “Barangsiapa berkata Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi maka orang ini telah menjadi kafir”. Hal ini karena orang yang berkata demikian telah menetapkan tempat dan arah bagi Allah. Dan setiap sesuatu yang memiliki tempat dan arah maka secara pasti ia adalah sesuatu yang baharu –yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada tempat dan arah tersebut–. Pernyataan semacam itu jelas merupakan cacian bagi Allah. Beliau al-Imâm Abu Hanifah berkata “Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata “Allah berada di atas arsy, namun saya tidak tahu arsy, apakah berada di langit atau berada di bumi”. Hal ini karena orang tersebut telah menetapkan adanya tempat bagi Allah, menetapkan arah, juga menetapkan sesuatu yang nyata-nyata sebagai kekurangan bagi Allah, terlebih orang yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas, atau menfikan keagungan-Nya, atau menafikan Dzat Allah yang suci dari arah dan tempat, atau mengatakan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya. Dalam hal ini terdapat beberapa poin penting Pertama Orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah bentuk yang memiliki arah maka orang ini sama saja dengan mengingkari segala sesuatu yang ada kecuali segala sesuatu tersebut dapat diisyarat -dengan arah- secara indrawi. Dengan demikian orang ini sama saja dengan mengingkari Dzat Allah yang maha suci dari menyerupai makhluk-Nya. Oleh karena itu orang semacam ini secara pasti adalah seorang yang telah kafir. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas. Kedua Pengkafiran terhadap orang yang menetapkan adanya keserupaan dan tempat bagi Allah. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas, dan ini berlaku umum. -Artimya yang menetapkan keserupaan dan tempat apapun bagi Allah maka ia telah menjadi kafir-. Dan ini pula yang telah dipilih oleh al-Imâm al-Asy’ari, sebagaimana dalam kitab an-Nawzdir ia al-Imâm al-Asy’ari berkata “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah benda maka orang ini tidak mengenal Tuhannya dan ia telah kafir kepada-Nya”. Sebagaimana hal ini juga dijelaskan dalam kitab Syarh al-Irsyad karya Abu al-Qasim al-Anshari” Isyarat al-Maram Min Ibarat al-Imâm, h. 200. • Asy-Syaikh al-Allâmah Abd al-Ghani an-Nabulsi al-Hanafi w 1143 H dalam karyanya berjudul Fath ar-Rabbani Wa al-Faydl ar-Rahmani menuliskan sebagai berikut “Kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian. Segala macam bentuk kekufuran kembali kepada tiga macam kufur ini, yaitu at-Tasybîh menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, at-Ta’thil menafikan Allah atau sifat-sifat-Nya, dan at-Takdzib mendustakan. Adapun at-Tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam pengertian anggota badan, atau bahwa Allah berbentuk seperti si fulan atau memiliki sifat seperti sifat-sifat si fulan, atau bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan dalam akal, atau bahwa Allah berada di langit, atau barada pada semua arah yang enam atau pada suatu tempat atau arah tertentu dari arah-arah tersebut, atau bahwa Allah berada pada semua tempat, atau bahwa Dia memenuhi langit dan bumi, atau bahwa Allah berada di dalam suatu benda atau dalam seluruh benda, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatau dengan suatu benda atau semua benda, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Allah, semua keyakinan semacam ini adalah keyakinan kufur. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atasnya” al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124. • Asy-Syaikh al-Allâmah Muhammad ibn Illaisy al-Maliki w 1299 H dalam menjelaskan perkara-perkara yang dapat menjatuhkan seseorang di dalam kekufuran menuliskan sebagai berikut “Contohnya seperti orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda atau berkayakinan bahwa Allah berada pada arah. Karena pernyataan semacam ini sama saja dengan menetapkan kebaharuan bagi Allah, dan menjadikan-Nya membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam kebaharuan tersebut” Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, j. 9, h. 206. • Al-Allâmah al-Muhaddits al-Faqîh asy-Syaikh Abu al-Mahasin Muhammad al-Qawuqji ath-Tharabulsi al-Hanafi w 1305 H dalam risalah akidah berjudul al-I’timad Fi al-I’tiqad menuliskan sebagai berikut “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi”; maka orang ini telah menjadi kafir. -Ini karena ia telah menetapkan tempat bagi Allah pada salah satu dari keduanya-” al-I’timad Fi al-I’tiqad, h. 5. • Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, sebuah kitab yang memuat berbagai fatwa dari para ulama Ahlussunnah terkemuka di daratan India, tertulis sebagai berikut “Seseorang menjadi kafir karena menetapkan tempat bagi Allah. Jika ia berkata Allah Fi as-Sama’ untuk tujuan meriwayatkan lafazh zhahir dari beberapa berita hadits yang datang maka ia tidak menjadi kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan bahwa Allah berada di langit maka orang ini menjadi kafir” al-Fatawa al-Hindiyyah, j. 2, h. 259. • Asy-Syaikh Mahmud ibn Muhammad ibn Ahmad Khaththab as-Subki al-Mishri w 1352 H dalam kitab karyanya berjudul Ithaf al-Ka-inat Bi Bayan Madzhab as-Salaf Wa al-Khalaf Fi al-Mutasyâbihât, menuliskan sebagai berikut “Telah berkata kepadaku sebagian orang yang menginginkan penjelasan tentang dasar-dasar akidah agama dan ingin berpijak di atas para ulama Salaf dan ulama Khalaf dalam memahami teks-teks Mutasyâbihât, mereka berkata Bagaimana pendapat para ulama terkemuka tentang hukum orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada arah, atau bahwa Dia duduk satu tempat tertentu di atas arsy, lalu ia berkata Ini adalah akidah salaf, kita harus berpegang teguh dengan keyakinan ini. Ia juga berkata Barangsiapa tidak berkeyakinan Allah di atas arsy maka ia telah menjadi kafir. Ia mengambil dalil untuk itu dengan firman Allah “ar-Rahman Ala al-Arsy Istawa” QS. Thaha 5 dan firman-Nya “A-amintum Man Fi as-Sama’ QS. al-Mulk 16. Orang yang berkeyakinan semacam ini benar atau batil? Dan jika keyakinannya tersebut batil, apakah seluruh amalannya juga batil, seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya dari segala amalan-amalan keagamaan? Apakah pula menjadi tertolak pasangannya suami atau istrinya? Apakah jika ia mati dalam keyakinannya ini dan tidak bertaubat dari padanya, ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin? Kemudian seorang yang membenarkan keyakinan orang semacam itu, apakah ia juga telah menjadi kafir? Jawaban yang aku tuliskan adalah sebagai berikut Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan batil, dan hukum orang yang berkeyakinan demikian adalah kafir, sebagaimana hal ini telah menjadi Ijma’ konsensus ulama terkemuka. Dalil akal di atas itu adalah bahwa Allah maha Qadim; tidak memiliki permulaan, ada sebelum segala makhluk, dan bahwa Allah tidak menyerupai segala makhluk yang baharu tersebut Mukhalafah Li al-Hawadits. Dan dalil tekstual di atas itu adalah firman Allah “Laisa Kamitaslihi Syai’” QS. asy-Syura 11. Dengan demikian orang yang berkayakinan bahwa Allah berada pada suatu tempat, atau menempel dengannya, atau menempel dengan sesuatu dari makhluk-Nya seperti arsy, al-kursy, langit, bumi dan lainnya maka orang semacam ini secara pasti telah menjadi kafir. Dan seluruh amalannya menjadi sia-sia, baik dari shalat, puasa, haji dan lainnya. Demikian pula pasangannya suami atau istrinya menjadi tertolak. Ia wajib segera bertaubat dengan masuk Islam kembali -dan melepaskan keyakinannnya tersebut-. Jika ia mati dalam keyakinannya ini maka ia tidak boleh dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan dipemakaman kaum muslimin. Termasuk menjadi kafir dalam hal ini adalah orang yang membenarkan keyakinan tersebut. -Semoga Allah memelihara kita dari pada itu semua-. Adapun pernyataannya bahwa setiap orang wajib berkeyakinan semacam ini, dan bahwa siapapun yang tidak berkeyakinan demikian adalah sebagai seorang kafir, maka itu adalah kedustaan belaka, dan sesungguhnya justru penyataannya yang merupakan kekufuran” Ithaf al-Ka’inat, h. 3-4. • Al-Muhaddits al-Allâmah asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari w 1371 H, Wakil perkumpulan para ulama Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki menuliskan “Perkataan yang menetapkan bahwa Allah berada pada tempat dan arah adalah perkataan kufur. Ini sebagaimana dinyatakan oleh para Imam madzhab yang empat, seperti yang telah disebutkan oleh al-Iraqi dari para Imam madzhab tersebut dalam kitab Syarh al-Misykat yang telah ditulis oleh asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari” Maqalat al-Kautsari, h. 321. 3. Aqidah Ulama Indonesia Allah Ada Tanpa Tempat Ummat Islam Indonesia berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan Madzhab Syafi’i dalam hukum fiqih. Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah 1. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani H/1897. Beliau menyatakan dalam Tafsirnya, at-Tafsir al Munir li Ma’alim at-Tanzil, jilid I, ketika menafsirkan ayat 54 surat al A’raf 7 ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ Sebagai berikut “وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَةِ…”. “Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci dari tempat dan arah….” 2. Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al Alawi. Beliau banyak mengarang buku-buku berbahasa Melayu yang hingga sekarang menjadi buku ajar di kalangan masyarakat betawi yang menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti buku beliau Sifat Dua Puluh. Dalam karya beliau “az-Zahr al Basim fi Athwar Abi al Qasim”, beliau mengatakan “…Tuhan yang maha suci dari pada jihah arah…”. 3. Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy Beliau yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang W. 1321 H/sekitar tahun 1901. Beliau berkata dalam terjemah kitab al Hikam dalam bahasa jawa, sebagai berikut “…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna” Maknanya”…dan Allah Maha Suci dari arah, tempat, masa dan warna”. 4. Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur Beliau adalah pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ W. 7 Ramadlan 1366 H/25 Juni 1947. Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul “at-Tanbihat al Wajibat” sebagai berikut “وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ…”. Maknanya “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk berjisim, arah, zaman atau masa dan tempat…”. 5. Hasan al Genggongi al Kraksani, Probolinggo W. 1955, Beliau adalah Pendiri Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya Aqidah at-Tauhid, sebagai berikut وُجُوْدُ رَبِّيْ اللهِ أَوَّلُ الصِّفَاتْ بِلاَ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَجِهَاتْ فَإِنَّهُ قَدْ كَـانَ قَبْلَ الأَزْمِـنَةْ وَسَائِرِ الْجِهَاتِ ثُمَّ الأَمْكِنَةْ “Adanya Tuhanku Allah adalah sifat-Nya yang pertama, ada tanpa masa, tempat dan enam arah. Karena Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat”. 6. Asnawi, Kampung Bandan-Kudus W. 26 Desember 1959. Beliau menyatakan dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”, sebagai berikut “…Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah berupa sifat benda yakni sesuatu yang mengikut pada benda atau aradl, Karenanya Dia tidak membutuhkan tempat yakni Dia ada tanpa tempat, sehingga dengan demikian tetap bagi-Nya sifat Qiyamuhu bi nafsihi” terjemahan dari bahasa jawa. 7. Siradjuddin Abbas W. 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H. Beliau mengatakan dalam buku “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan”, hal. 25 “…karena Tuhan itu tidak bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan mempunyai tempat duduk, serupa manusia”. 8. Djauhari Zawawi, Kencong, Jember H/20 Juli 1994, Beliau adalah Pendiri Pondok Pesantren as-Sunniyah, Kencong, Jember, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya yang berbahasa Jawa, sebagai berikut “…lan mboten dipun wengku dining panggenan…”, maknanya “…Dan Allah tidak diliputi oleh tempat…” Lihat Risalah Tauhid al-Arif fi Ilmi at-Tauhid, 9. Choer Affandi Beliau adalah pendiri Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau menyatakan dalam risalahnya dengan bahasa Sunda yang berjudul “Pengajaran Aqaid al Iman”, hal. 6-7 yang maknanya ”Sifat wajib yang kelima bagi Allah adalah Qiyamuhu binafsihi – Allah ada dengan Dzat-Nya, Tidak membutuhkan tempat – Dan juga tidak membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Dalil yang menunjukkan atas sifat Qiyamuhu binafsihi, seandainya Allah membutuhkan tempat –Niscaya Allah merupakan sifat benda aradl, Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil –Dan seandainya Allah membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Niscaya Allah ta’ala bersifat baru -Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah”. 4. Pernyataan Para Ulama Tentang Kesesatan Akidah Hulul Dan Wahdah al-Wujud Dalam tinjauan Al-Imâm al-Hafiszh as-Suyuthi, keyakinan hulûl, ittihâd atau wahdah al-wujûd secara hitoris awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan ibunya; Maryam sekaligus. Hulûl dan wahdah al-wujûd ini sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam. Bila kemudian ada beberapa orang yang mengaku sufi meyakini dua akidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi gadungan. Para ulama, baik ulama Salaf maupun Khalaf dan kaum sufi sejati dan hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua akidah tersebut. as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, Pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani dalam teori hulûl dan Ittihâd lihat as-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, h. 178-183. Al-Imâm al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulûl atau wahdah al-wujûd jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus yang mereka sebut dengan doktrin trinitas, maka dalam keyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari alam ini. Demikian pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas secara gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lâhût Tuhan menyatu dengan al-nâsût makhluk, yang kemudian diadopsi oleh faham hulûl dan ittihâd adalah kesesatan dan kekufuran as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130. Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulûl dan ittihâd adalah al-Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-Asnâ Fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham kaum sufi gadungan. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihyâ Ulumiddîn. Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihâd berasal dari kaum Nasrani. Kaum Nasrani berpendapat bahwa ittihâd hanya terjadi hanya pada nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulûl dan ittihâd ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagain dari mereka menyatakan bahwa yang menyatu dengan tubuh nabi Isa adalah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat lainnya mengatakan bahwa dzat tuhan menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh nabi Isa laksana air yang bercampur dengan susu. Selain ini ada pendapat-pendapat mereka lainnya. Semua pendapat mereka tersebut secara garis besar memiliki pemahaman yang sama, yaitu pengertian kesatuan hulûl dan ittihâd. Dan semua faham-faham tersebut diyakini secara pasti oleh para ulama Islam sebagai kesesatan. as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, mengutip dari Imam al-Haramain dalam al-Irsyâd. Imam al-Fakh ar-Razi dalam kitab al-Mahshal Fî Ushûliddîn, menuliskan sebagai berikut “Sang Pencipta Allah tidak menyatu dengan lain-Nya. Karena bila ada sesuatu bersatu dengan sesuatu yang lain maka berarti sesuatu tersebut menjadi dua, bukan lagi satu. Lalu jika keduanya tidak ada atau menjadi hilang ma’dûm maka keduanya berarti tidak bersatu. Demikian pula bila salah satunya tidak ada ma’dûm dan satu lainnya ada maujûd maka berarti keduanya tidak bersatu, karena yang ma’dûm tidak mungkin bersatu dengan yang maujûd” as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, mengutip dari al-Fakh ar-Razi dalam al-Mahshal Fi Ushul al-Dîn. Al-Qâdlî Iyadl dalam kitab al-Syifâ menyatakan bahwa seluruh orang Islam telah sepakat dalam meyakini kesesatan akidah hulûl dan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah menyatu dengan tubuh manusia. Keyakinan-keyakinan semacam ini, dalam tinjauan al-Qâdlî Iyadl tidak lain hanya datang dari orang-orang sufi gadungan, kaum Bathiniyyah, Qaramithah, dan kaum Nasrani Al-Qâdli Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h. 236. Dalam kitab tersebut al-Qâdlî Iyadl menuliskan “Seorang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, maka dia tidak mengenal Allah kafir seperti orang-orang Yahudi. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya hulûl, atau bahwa Allah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain seperti keyakinan kaum Nasrani” Al-Qâdli Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h. 236. Imam Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni dalam Kifâyah al-Akhyâr mengatakan bahwa kekufuran seorang yang berkeyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd lebih buruk dari pada kekufuran orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Kaum Yahudi menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair sebagai anak-Nya. Kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Isa dan Maryam sebagai tuhan anak dan tuhan Ibu; yang oleh mereka disebut dengan doktrin trinitas. Sementara pengikut akidah hulûl dan wahdah al-wujûd meyakini bahwa Allah menyatu dengan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya dibanding Yahudi dan Nasrani, pemeluk akidah hulûl dan wahdah al-wujûd memiliki lebih banyak tuhan; tidak hanya satu atau dua saja, karena mereka menganggap bahwa setiap komponen dari alam ini merupakan bagian dari Dzat Allah, Na’udzu Billâh. Imam al-Hishni menyatakan bahwa siapapun yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memerangi akidah hulûl dan akidah wahdah al-wujûd maka ia memiliki kewajiban untuk mengingkarinya dan menjauhkan orang-orang Islam dari kesesatan-kesesatan dua akidah tersebut Lihat al-Hushni, Kifâyah al-Akhyar…, j. 1, h. 198. Imam Ahmad ar-Rifa’i, perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, di antara wasiat yang disampaikan kepada para muridnya berkata “Majelis kita ini suatu saat akan berakhir, maka yang hadir di sini hendaklah menyampaikan kepada yang tidak hadir bahwa barang siapa yang membuat bid’ah di jalan ini, merintis sesuatu yang baru yang menyalahi ajaran agama, berkata-kata dengan wahdah al-wujûd, berdusta dengan keangkuhannya kepada para makhluk Allah, sengaja berkata-kata syathahât, melucu dengan kalimat-kalimat tidak dipahaminya yang dikutip dari kaum sufi, merasa senang dengan kedustaannya, berkhalwat dengan perempuan asing tanpa hajat yang dibenarkan syari’at, tertuju pandangannya kepada kehormatan kaum muslimin dan harta-harta mereka, membuat permusuhan antara para wali Allah, membenci orang muslim tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, menolong orang yang zhalim, menghinakan orang yang dizhalimi, mendustakan orang yang jujur, membenarkan orang yang dusta, berprilaku dan berkata-kata seperti orang-orang yang bodoh, maka saya terbebas dari orang semacam ini di dunia dan di akhirat lihat Sawâd al-Ainain Fî Manâqib Abî al-Alamain karya al-Imam as-Suyuthi. Al-Qâdlî Abu al-Hasan al-Mawardi mengatakan bahwa seorang yang berpendapat hulûl dan ittihâd bukan seorang muslim yang beriman dengan syari’at Allah. Seorang yang berkeyakinan hulûl ini tidak akan memberikan manfa’at pada dirinya sekalipun ia berkoar membicakaran akidah tanzih. Karena seorang yang mengaku Ahl at-Tanzîh namun ia meyakini akidah hulûl atau ittihâd adalah seorang mulhid kafir. Dalam tinjauan al-Mâwardi, bukan suatu yang logis bila seseorang mengaku ahli tauhid sementara itu ia berkeyakinan bahwa Allah menyatu pada raga manusia. Sama halnya pengertian bersatu di sini antara sifat-sifat tuhan dengan sifat-sifat manusia, atau dalam pengartian melebur antara dua dzat; Dzat Allah dengan dzat makhluk-Nya. Karena bila demikian maka berarti tuhan memiliki bagian-bagian, permulaan dan penghabisan, serta memiliki sifat-sifat makhluk lainnya as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 132. Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam kutipannya dari kitab Mi’yâr al-Murîdîn, berkata “Ketahuilah bahwa asal kemunculan kelompok sesat dari orang-orang yang berkeyakinan ittihâd dan hulûl adalah akibat dari kedangkalan pemahaman mereka terhadap pokok-pokok keyakinan al-Ushûl dan cabang-cabangnya al-furû’. Dalam pada ini telah banyak atsar yang membicarakan untuk menghindari seorang ahli ibadah Âbid yang bodoh. Seorang yang tidak berilmu tidak akan mendapatkan apapun dari apa yang ia perbuatnya, dan orang semacam ini tidak akan berguna untuk melakukan sulûk” as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 133. Seorang sufi kenamaan, Imam Sahl ibn Abdullah at-Tustari, berkata “Dalil atas kesesatan faham kasatuan ittihâd antara manusia dengan Tuhan adalah karena bersatunya dua dzat itu sesuatu yang mustahil. Dua dzat manusia saja, misalkan, tidak mungkin dapat disatukan karena adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Terlebih lagi antara manusia dengan Tuhan, sangat mustahil. Karena itu keyakinan ittihâd adalah sesuatu yang batil dan mustahil, ia tertolak secara syara’ juga secara logika. Oleh karenanya kesesatan akidah ini telah disepakati oleh para nabi, para wali, kaum sufi, para ulama dan seluruh orang Islam. Keyakinan ittihâd ini sama sekali bukan keyakinan kaum sufi. Keyakinan ia datang dari mereka yang tidak memahami urusan agama dengan benar, yaitu mereka yang menyerupakan dirinya dengan kaum Nasrani yang meyakini bahwa al-nasut nabi Isa menyatu dengan al-lahut Tuhan” as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 134. Dalam tinjauan Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulûl dan ittihâd adalah sesuatu yang tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan antara dzat dengan sifat. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan pada makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara makna jelas berbeda. Sifat al-Hayât hidup, misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah dan juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut berbeda. Sifat hayat pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan, minuman dan lainnya. Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia. Imam al-Ghazali menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan sifat-sifat yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian bukan berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Hal ini sangat mustahil dengan melihat kepada beberapa alasan berikut; Pertama; Mustahil sifat-sifat Allah yang Qadîm tidak bermula berpindah kepada dzat manusia yang hâdits Baru, sebagaimana halnya mustahil seorang hamba menjadi Tuhan karena perbedaan sifat-sifat dia dengan Tuhan-nya. Kedua; Sebagaimana halnya bahwa sifat-sifat Allah mustahil berpindah kepada hamba-Nya, demikian pula mustahil dzat Allah menyatu dengan dzat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian maka pengertian bahwa seorang manusia telah sampai pada sifat-sifat sempurna adalah dalam pengertian kesempurnaan sifat-sifat manusia itu sendiri. Bukan dalam pengertian bahwa manusia tersebut memiliki sifat-sifat Allah atau bahwa dzat Allah menyatu dengan manusia tersebut hulûl dan ittihâd . Al-’Ârif Billâh al-Allâmah Abu al-Huda ash-Shayyadi dalam kitab al-Kaukab al-Durri berkata “Barang siapa berkata “Saya adalah Allah”, atau berkata “Tidak ada yang wujud di alam ini kecuali Allah”, atau berkata “Tidak ada yang ada kecuali Allah”, atau berkata “Segala sesuatu ini adalah Allah”, atau semacam ungkapan-ungkapan tersebut, jika orang ini berakal, dan dalam keadaan sadar shâhî, serta dalam keadaan mukallaf maka ia telah menjadi kafir. Tentang kekufuran orang semacam ini tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang Islam. Keyakinan tersebut telah jelas-jelas menyalahi al-Qur’an. Karena dengan meyakini bahwa segala sesuatu adalah Allah berarti ia telah menafikan perbedaan antara Pencipta Khâliq dan makhluk, menafikan perbedaan antara rasul dan umatnya yang menjadi obyek dakwah, serta menafikan perbedaan surga dan neraka. Keyakinan semacam ini jelas lebih buruk dari mereka yang berkeyakinan hulûl dan ittihâd. Dasar mereka yang berakidah hulûl atau ittihâd meyakini bahwa Allah meyatu dengan nabi Isa. Sementara yang berkeyakinan segala sesuatu adalah Allah, berarti ia menuhankan segala sesuatu dari makhluk Allah ini, termasuk makhluk-makhluk yang najis dan yang menjijikan. Sebagian mereka yang berkeyakinan buruk ini bahkan berkata قيل وَمَا اْلكَلْبُ وَالْخِنْزِيْرُ إلاّ إلَهُنَا وَمَا اللهُ إلاّ رَاهِبٌ فِي كَنِيْسَةٍ “Tidaklah anjing dan babi kecuali sebagai tuhan kita, sementara Allah tidak lain adalah rahib yang ada di gereja”. Ini jelas merupakan kekufuran yang sangat mengerikan dan membuat merinding tubuh mereka yang takut kepada Allah. Adapun jika seorang yang berkata-kata semacam demikian itu dalam keadaan hilang akal dan hilang perasaannya jadzab sehingga ia berada di luar kesadarannya maka ia tidak menjadi kafir. Karena bila demikian maka berarti ia telah keluar dari ikatan taklif, dan dengan begitu ia tidak dikenakan hukuman. Namun demikian orang semacam itu mutlak tidak boleh diikuti. Tidak diragukan bahwa kata-kata semacam di atas menyebabkan murka Allah dan rasul-Nya. Ketahuilah bahwa kaum Yang Haq adalah mereka yang tidak melenceng sedikitpun, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, dari ketentuan syari’at. Cukuplah bagi seseorang untuk memegang teguh syari’at, dan cukuplah Rasulullah sebagai pembawa syari’at adalah sebaik-baiknya Imam dan teladan yang harus diikuti” Lihat al-Shayyadi, al-Kaukab al-Durry Fi Syarh Bait al-Quthb al-Kabir, h. 11-12. Dalam al-Luma’, as-Sarraj membuat satu sub judul dengan nama “Bâb Fî Dzikr Ghalath al-Hululiyyah” Bab dalam menjelaskan kesesatan kaum Hululiyyah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang berakidah hulûl adalah orang yang tidak memahami bahwa sebenarnya sesuatu dapat dikatakan bersatu dengan sesuatu yang lain maka mestilah keduanya sama-sama satu jenis. Padahal Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya. Kesesatan kaum hulûl ini sangat jelas, mereka tidak membedakan antara sifat-sifat al-Haq Allah dengan sifat al-Khalq makhluk. Bagaimana mungkin Dzat Allah menyatu dengan hati atau raga manusia?! Yang menyatu dengan hati dan menetap di dalamnya adalah keimanan kepada-Nya, menyakini kebenaran-Nya, mentauhidkan-Nya dan ma’rifah kepada-Nya. Sesungguhnya hati itu adalah makhluk, maka bagaimana mungkin Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya akan bersatu dengan hati manusia yang notabene makhluk-Nya sendiri?! Allah maha Suci dari pada itu semua as-Sarraj, al-Luma’…, h. 541-542. Dari pernyataan para ulama sufi di atas tentang akidah hulûl dan wahdah al-wujûd dapat kita tarik kesimpulan bahwa kedua akidah ini sama sekali bukan merupakan dasar akidah kaum sufi. Penutup Sama sesatnya dengan orang-orang berkayakinan hulul atau wahdah al-wujud adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit atau bertempat di atas arsy, karena bila demikian maka berarti Dia berada pada makhluk-Nya sendiri, Au’dzu Billah. Hindari dan waspadai keyakinan Wahhabi yang mengatakan Allah bertempat di langit, pada saat yang sama mereka juga mengatakan di arsy, di dua tempat heh!!! Yang mengherankan Mereka yakin bahwa arsy dan langit makhluk Allah, tapi mereka mengatakan bahwa Allah bertempat pada keduanya, di mana akal mereka!!!!!! Hasbunallah……. Ingat, Akidah Rasulullah, salaf saleh, dan mayoritas ummat Islam; kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH. 5. Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl Ada sebuah hadits yang dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing. Redaksi hadits riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh. “Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ رواه البخاري Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah. Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata “Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama; Pertama Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam teolog, yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk. Kedua Madzhab mayoritas ahli Kalam kaum teolog dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas. Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” Raja melakukan suatu perbuatan, maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut. Kedua; takwil hadits dalam makna isti’ârah metafor, yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah” An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36. Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas batil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek Maf’ûl Bih. Dengan demikian menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi mereka. Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” QS. Ali ’Imran 17, artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur akhir malam”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut “Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى ”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi. Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39. Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut “Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama” Fath al-Bâri, j. 3, h. 30. Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan “Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, menjadi kata yunzilu dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه ”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”. Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ ”…maka Malaikat penyeru berseru ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”. Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” Fath al-Bâri, j. 3, h. 30. Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl menuliskan sebagai berikut “Ketahuilah, bahwa tidak boleh memaknai an-nuzûl dalam hadits ini dalam pengertian pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena beberapa alasan berikut; Pertama Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat benda-benda dan segala sesuatu yang baharu. Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah. Ke Dua Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat. Ke Tiga Pendapat yang menyebutkan bahwa Allah bertempat di atas arsy dan memenuhinya, bagaimana mungkin cukup bagi-Nya untuk bertempat di langit dunia, padahal luasnya langit dibanding arsy tidak ubahnya seperti sebesar kerikil dibanding lapangan yang luas. Dalam hal ini pendapat sesat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan; Pertama Bahwa langit dunia setiap saat berubah menjadi besar dan luas hingga mencukupi Allah. Kedua Atau bahwa Dzat Allah setiap saat menjadi kecil agar tertampung oleh langit dunia tersebut. Tentunya, kita menafikan dua keadaan yang mustahil tersebut dari Allah. Dengan demikian setiap ayat dan hadits mutasyâbihât yang zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah. Atau jika tidak memberlakukan takwil maka harus diyakini kesucian Allah dari segala sifat-sifat makhluk-Nya” Idlâh al-Dalîl, h. 164. KESIMPULAN Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya. V. PENUTUP Ikutilah Apa Yang Diyakini Mayoritas Umat Islam..!! Di akhir zaman ini banyak berkembang faham-faham yang terkadang satu sama lainnya saling menyesatkan. Ironisnya, klaim sesat seringkali dilontarkan oleh mereka yang sama sekali tidak mengetahui ilmu agama. Lebih parah lagi, klaim sesat seringkali mereka dilontarkan kepada mayoritas umat Islam yang notabene kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Padahal ajaran yang diyakini mayoritas umat Islam ini telah mapan dan telah turun-temurun antar generasi ke generasi dengan mata rantai Sanad yang bersambung kepada Rasulullah. Persoalan-persoalan yang seringkali mereka angkat sangat beragam, dari mulai perkara-perkara pokok dalam masalah akidah Ushuliyyah, hingga masalah-masalah cabang hukum agama Furu’iyyah. Praktek Peringatan Maulid Nabi, Tahlil, Ziarah Kubur, Tawassul dan Tabarruk adalah di antara contoh beberapa masalah yang seringkali “diserang” oleh mereka. Pada dasarnya mereka yang seringkali mengklaim kelompok di luar mereka sebagai kelompok sesat adalah “orang-orang bingung’, “orang-orang yang tidak memiliki pijakan”, dan sama sekali tidak paham terhadap cara beragama mereka sendiri. Seringkali dalm propagandanya mereka berkata “Kita harus kembali kepada al-Qur’an dan Hadits”, atau berkata “Madzhab saya adalah al-Qur’an dan Sunnah”, padahal mereka sama sekali tidak memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Bagaimana mungkin mereka akan dapat memahami kandungan al-Qur’an dan hadits sementara tidak sedikit dari mereka yang membaca tulisan Arab saja sangat “belepotan”. Bahkan seringkali untuk memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi mereka hanya bersandar kepada terjemahan-terjemahan belaka. Sama sekali mereka tidak paham siapa seorang mujtahid, dan apa syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid. Namun demikian mereka memposisikan diri laksana seorang ahli ijtihad. Hasbunallah. Yang paling parah, keyakinan yang dibawa oleh mereka dan diajarkan oleh mereka kepada masyarakat awam adalah akidah tasybih. Akidah tasybih adalah akidah sesat berisi penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Ungkapan-ungkapan buruk dalam penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya dan sangat menyesatkan yang berkembang di sebagian masyarakat kita adalah hasil “jerih payah” propaganda mereka. Seperti perkataan “Terserah yang di atas”, atau “Allah bersemayam di atas arsy”, atau “Allah berada di langit”, atau “Allah duduk di atas arsy”, atau “Allah bergerak turun dan naik”, dan berbagai ungkapan tasybih lainnya. Sangat ironis, keyakinan sesat semacam ini telah berkembang di sebagian masyarakat kita. Sementara akidah tanzih; akidah yang telah diajarkan Rasulullah berisi keyakinan bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, bahwa Allah bukan benda dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda, serta bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sudah semakin diabaikan. Wa La Haula Wa La Quwwata Illa Billah. Benar, ini dalah “penyakit akhir zaman” yang harus kita waspadai dan kita perangi. Salah seorang ulama terkemuka bernama Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi w 725 H, lihat biografi beliau dalam al-Durar al-Kaminah, karya al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, j. 4, h. 198 dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, h. 588, mengutip perkataan al-Khalifah ar-Rasyid Ali ibn Abi Thalib, menuliskan sebagai sebagai berikut سَيَرْجِعُ قَوْمٌ مِنْ هذِه الأمّةِ عِنْدَ اقْتِرَابِ السّاعَةِ كُفّارًا، قَالَ رَجُلٌ يَا أمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، كُفْرُهُمْ بِمَاذَا أبِالإحْدَاثِ أمْ بِالإنْكَارِ؟ فَقَالَ بَلْ بِالإنْكَارِ، يُنْكِرُوْنَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِالجِسْمِ وَالأعْضَاء رَواهُ ابنُ المُعلِّم القُرَشيّ فِي كِتابه نَجْم المُهْتَدِي وَرَجْمُ المُعْتَدِيْ، ص 588 “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya “Wahai Amir al-Mu’minin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat Ali ibn Abi Thalib menjawab “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta meraka Allah dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”. Diriwayatkan oleh Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, h. 588 Di antara tanda-tanda kaum Khawarij yang dilaknat oleh Rasulullah, -sebagaimana telah beliau sabdakan dalam haditsnya-, ialah bahwa mereka “Anak-anak muda yang memiliki mimpi yang sangat bodoh”, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka. Iman mereka benar-benar “dangkal”. Rasulullah mengatakan jika kalian bertemu dengan orang-orang semacam ini maka perangilah mereka. HR. al-Bukhari. Semoga Allah senantiasa memelihara iman kita hingga akhir hayat kita. Semoga Allah selalu mencurahkan rasa cinta bagi kita kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan para ulama saleh yang telah mendahului kita. Serta semoga kita dijadikan orang-orang yang selalu memegangteguh ajaran-ajaran mereka. Amin Bi Haqq an-Nabi Muhammad Thaha al-Amin. Wa Shallalah Ala Sayyidina Muhammad Wa Sallam. Wa al-Hamd Lillah Rabbil Alamin RIWAYAT PENULIS H. Kholilurrohman Abu Fateh, Lc, MA, lahir di Subang 15 November 1975, Dosen Unit Kerja Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DPK/Diperbantukan di STAI Al-Aqidah al-Hasyimiyyah Jakarta. Jenjang pendidikan formal dan non formal, di antaranya; Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta 1993, Institut Islam Daarul Rahman IID Jakarta S1/Syari’ah Wa al-Qanun 1998, STAI az-Ziyadah Jakarta S1/Ekonomi Islam 2002, Pendidikan Kader Ulama PKU Prop. DKI Jakarta 2000, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta S2/Tafsir dan Hadits 2005, Tahfîzh al-Qur’an di Pondok Pesantren Manba’ul Furqon Leuwiliang Bogor Non Intensif, “Ngaji face to face” Tallaqqî Bi al-Musyâfahah untuk mendapatkan sanad beberapa disiplin ilmu kepada beberapa Kiyai dan Haba-ib di wilayah Jawa Barat, Banten, dan khususnya di wilayah Prop. DKI Jakarta. Khâdim pada Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah Syahamah Jakarta, sebuah organisasi yang aktif membela aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Selain sebagai dosen juga mengajar di beberapa Pondok Pesantren dan memimpin beberapa Majalis Ilmiyyah di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sekarang tengah menyelesaikan jenjang S3 Doktor di UIN Syarif Haidayatullah Jakarta pada konsentrasi Tafsir Dan Hadits. Ijâzah sanad mata rantai keilmuan yang telah didapat di antaranya; dalam seluruh karya Syekh Nawawi al-Bantani dari KH. Abdul Jalil Senori Tuban; dari KH. Ba Fadlal; dari KH. Abdul Syakur; dari Syekh Nawawi Banten. KH. Ba Fadlal selain dari KH. Abdul Syakur, juga mendapat sanad dari KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng; dari Syekh Nawawi Banten. Kemudian dalam seluruh disiplin ilmu Islam; mendapatkan Ijâzah Âmmah dari KH. Abdul Hannan Ma’shum Kediri; dari KH. Abu Razin Muhammad Ahmad Sahal Mahfuzh Pati; dari KH. Zubair ibn Dahlan Sarang dan al-Musnid Syekh Yasin al-Padani. Secara khusus; Syekh Yasin al-Padani telah membukukan seluruh sanad beliau ats-Tsabt di antaranya dalam kitab “al-Iqd al-Farîd Min Jawâhir al-Asânîd”. Belajar secara intensif kepada murid-murid Imam al-Hafizh Syekh Abdullah al-Harari, di antaranya; Syekh al-Allamah al-Habib Salim ibn Mahmud Alwan al-Hasani, Syekh al-Habib Khalil ibn Abdul Qadir Dabbag al-Husaini, Syekh al-Habib Muhammad asy-Syafi’i al-Muth-thalibi, Syekh al-Habib Umar ibn Adnan Dayyah al-Hasani, Syekh al-Habib Muhammad ibn Hassan Awkal al-Husaini, dan lainnya.

Dengandemikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang

Keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wa taala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan. Allah subhanahu wa taala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Allah subhanahu wa taala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah subhanahu wa taala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa taala memiliki sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wa taala wajib tidak menyerupai makhluk-Nya. Ada sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu wa taala ada tanpa tempat, dengan seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa taala bertempat. Wahhabi berkata “Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada” Sunni menjawab “Sekarang saya akan bertanya kepada Anda “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat sebelum diciptakannya tempat?” Wahhabi menjawab “Betul, Allah ada tanpa tempat sebelum terciptanya tempat” Sunni berkata “Kalau memang wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah” Wahhabi berkata “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya tempat?” Sunni menjawab “Pernyataan Anda mengandung dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali tidak ada permulaannya, keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa taala اَللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ “Allah-lah pencipta segala sesuatu.” QS. al-Zumar 62 Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa taala هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلآَخِرُ “Dialah Allah Yang Maha Awal wujudnya tanpa permulaan dan Yang Maha Akhir Wujudnya tanpa akhir” QS. al-Hadid 3 Demikianlah dialog seorang Muslim Sunni dengan orang Wahhabi. Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu wa taala ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang keluar dari keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa taala Maha Suci dari segala kekurangan. Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu wa taala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama. Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu hadits. Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini. “Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wa taala dan bahwa Allah subhanahu wa taala itu ada di atas Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal zhahir mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa taala itu ada di atas Arasy sesuai keyakinan mereka. Akhirnya saya al-Ghumari berkata kepada mereka “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?” Wahhabi menjawab “Ya.” Saya berkata “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?” Wahhabi menjawab “Ya.” Saya berkata “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa taala وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” QS. al-Hadid 4 Apakah ini termasuk al-Qur’an?” Wahhabi tersebut menjawab “Ya, termasuk al-Qur’an.” Saya berkata “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa taala مَا يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ وَهُوَ رَابِعُهُمْ “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” QS. al-Mujadilah 7. Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?” Wahhabi itu menjawab “Ya, termasuk al-Qur’an.” Saya berkata “Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa taala tidak ada di langit. Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa taala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa taala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa taala?” Wahhabi itu menjawab “Imam Ahmad mengatakan demikian.” Saya berkata kepada mereka “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa taala ada di langit tidak boleh dita’wil. Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi? Seandainya mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh menyerahkan pengertiannya kepada Allah subhanahu wa taala.” Demikian kisah al-Imam al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi. Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa taala ada di langit?” Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa taala ada di langit. Lalu saya berkata “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa taala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa taala berfirman “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” QS. al-Hadid 4. Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa taala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa taala berfirman وَقَالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ “Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku Palestina, yang akan memberiku petunjuk.” QS. al-Shaffat 99. Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa taala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa taala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits shahih قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم. “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” HR. Muslim Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits naqd al-hadits. Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtharib hadits yang simpang siur periwayatannya, sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa taala. Akan tetapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah. Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa taala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa taala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa taala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi. Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa taala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa taala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. “Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya” HR. al-Bukhari [405] Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa taala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa taala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ “Kaum Muslimin sejak generasi salaf para sahabat dan tabi’in telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu” al-Farq bayna al-Firaq, 256 Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ “Allah subhanahu wa taala tidak dibatasi oleh arah yang enam” Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab “Makhluk.” Saya bertanya “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH menjawab “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH. Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa taala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. رواه البخاري. “Imran bin Hushain radhiyallahu anhu berkata “Aku berada bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah” HR. al-Bukhari [3191]. Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa taala tidak bertempat. Allah subhanahu wa taala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ. “Abi Razin radhiyallahu anhu berkata “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai termasuk tempat. Al-Tirmidzi berkata “hadits ini bernilai hasan” Sunan al-Tirmidzi, [3109] Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa taala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ “Allah subhanahu wa taala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat maksudnya Allah tidak bertempat” al-Farq bayna al-Firaq, 256 Syaikh al-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka. Mereka menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab al-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih. Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah subhanahu wa taala dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari Hijaz. Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah al-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa taala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi. Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu “Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa taala telah berfirman dalam al-Qur’an وَمَنْ كَانَ فِيْ هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي اْلآَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً. الإسراء ٧٢. “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan yang benar.” QS. al-Isra’ 72. Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada majaz?” Mendengar sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak buahnya agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar. Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil Kalau kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan mudah kita simpulkan, bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan tidak jarang, pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan mereka sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya. “Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut mengadakan Maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan mengundang sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak biasanya ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada Maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam tahun 2010 ini saya dan beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali ini membahas tentang Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa Dengan Salafi? Setelah presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab. Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan ta’wil. Orang Salafi tersebut mengatakan “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu, saya dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya dengan berkata “Ayat-ayat al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat Ahlussunnah”. Setelah diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan Sofyan yang terakhir, saya bertanya “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?” Sofyan menjawab “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.” Saya bertanya “Apakah al-Bukhari penganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah?” Sofyan menjawab “Ya.” Saya berkata “Apakah al-Albani seorang ahli hadits?” Sofyan menjawab “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.” Saya berkata “Kalau benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?” Sofyan menjawab “Benar begitu.” Saya berkata “Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga melakukan ta’wil .” Sofyan berkata “Mana buktinya?” Mendengar pertanyaan Sofyan, saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata “Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ. Artinya, “Bab tentang ayat Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.” Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaan-Nya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut aliran sesat?”. Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah katapun tidak terlontar dari lidahnya. Kemudian saya berkata “Kalau begitu, sejak hari ini, sebaiknya Anda jangan memakai hadits al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah mengkritik al-Imam al-Bukhari dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani berkata “Pendapat al-Bukhari yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ. Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan al-Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya mengambil photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda Salafi ini. Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yang dituturkan oleh Syafi’i Umar Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan bersemangat dalam membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, di antaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Akan tetapi kaum Wahhabi sering kali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat. Seorang teman saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM, tokoh Wahhabi kelahiran Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD bercerita begini. “Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu, saya mengikuti suatu acara di Jakarta Selatan. Acara tersebut diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Dalam acara itu, ada seorang pemateri Wahhabi yang berasal dari Sumatera dan saat ini tinggal di Jember. Di antara materi yang disampaikannya adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu wa taala itu bertempat atau berada di atas Arasy. Dia menggunakan ayat al-Rahman ala al-Arsy istawa QS. Thaha 5. Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah subhanahu wa taala tidak ada di atas Arasy. Akibatnya, terjadiah dialog sengit antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat wa ja’a rabbuka wal malaku shaffan-shaffa QS. al-Fajr 22. Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan ja’a tsawabuhu wa qhadha’uhu datangnya pahala dan ketetapan Allah subhanahu wa taala. Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari ta’wil Imam Ahmad tersebut di software Maktabah Syamilah. Setelah dia menemukannya, dia membacakan komentar Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara alaih sanad ini tidak ada nodanya alias bersih yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih. Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut tertawa dan menganggap bahwa komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa redaksi hadza al-isnad la ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat redaksi yang menunjukkan atas kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa Ustadz lulusan Madinah tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang biasa dipakai oleh para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih. Sayangnya, berhubung waktu yang disediakan oleh panitia dan moderator telah habis, saya tidak bisa membantah dan mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.” Demikian kisah AD, kepada saya secara pribadi.
. 286 230 7 110 420 413 399 224

allah ada tanpa tempat