Kendatidemikian, masih ada beberapa pesantren yang tetap mempertahankan bentuknya secara tradisional dalam menyelenggarakan pendidikannya. Sejak tahun 1970-an, penyelenggaraan pendidikan pesantren di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi empat bentuk yaitu: a. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan
Berbagai macam lembaga pendidikan di Indonesia, baik lembaga pendidikan formal maupun non formal, senantiasa eksis dan ikut serta berperan dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Salah satu lembaga pendidikan tersebut adalah pondok pesantren yang merupakan sebuah lembaga non formal yang merupakan lembaga pendidikan tertua di negeri ini yang masih memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. Pondok pesantren merupakan sebuah sistem yang unik, tidak hanya unik dalam hal pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, serta semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Dari sistematika pengajaran, dijumpai sistem pelajaran yang berulang-ulang dari tingkat ke tingkat, tanpa terlihat kesudahannya. Persoalan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa yang diulang-ulang dalam jangka waktu bertahun-tahun, walaupun buku teks yang dipergunakan berlainan. Dalam keputusan Musyawarah/ Lokakarya intensifikasi Pengembangan pondok pesantren yang diselenggarakan pada tanggal 2 s/d 6 Mei 1978 di Jakarta tentang pondok pesantren diberikan batasan sebagai berikut Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur yaitu Kyai/ syekh/ ustadz yang mendidik serta mengajar, santri dengan asramanya, dan masjid. Kegiatannya mencakup Tri Dharma Pondok Pesantren yaitu keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT; pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara.[1] Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan dalam institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli pesantren. Ada pula metode pembelajaran baru tajdid, yaitu metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren dengan mengintrodusir metode-metode yang berkembang di masyarakat modern. Penerapan metode baru juga diikuti dengan penerapan sistem baru, yaitu sistem sekolah atau klasikal Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007 453. Dalam keadaan aslinya pondok pesantren memiliki sistem pendidikan dan pengajaran non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan wetonan. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran ini berbeda antara satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya, dalam arti tidak ada keseragaman sistem dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya. Sejalan dengan perkembangan zaman, lembaga pendidikan pesantren juga tidak menutup diri untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik metode maupun teknis dalam pelaksanaan pendidikan pesantren itu sendiri. Meskipun demikian tidak semua pesantren mau membuka mengadakan inovasi serta pembaharuan terhadap metode pembelajaran yang ada. Pada awal berdirinya pondok pesantren, metode yang digunakan adalah metode wetonan dan sorogan bagi pondok non klasikal. Pada perkembangan selanjutnya metode pembelajaran pondok pesantren mencoba untuk merenovasi metode yang ada tersebut untuk mengembangkan pada metode yang baru yaitu metode klasikal. Kyai bertugas mengajarkan berbagai pengajian untuk berbagai tingkat pengajaran di pesantrennya, dan terserah kepada santri untuk memilih mana yang akan ditempuhnya. Kalau santri ingin mengikuti semua jenis pengajian yang diajarkan, sudah tentu akan membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi keseluruhan struktur pengajaran tidak ditentukan oleh panjang atau singkatnya masa seorang santri mengaji pada Kyainya, karena tidak adanya keharusan menempuh ujian dari Kyainya. Satu-satunya ukuran yang digunakan adalah ketundukannya kepada sang Kyai dan kemampuannya untuk memperoleh “ngelmu” dari sang Kyai.[2] Di samping kurikulum pelajaran yang sedemikian fleksibel luwes, keunikan pengajaran di pesantren juga dapat ditemui pada cara pemberian pelajarannya, juga dalam penggunaan materi yang telah diajarkan kepada dan dikuasai oleh para santri. Pelajaran diberikan dalam pengajian yang berbentuk seperti kuliah terbuka. Di samping itu, mata pelajaran yang diajarkan bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amal sehari-hari, sudah tentu kemampuan para santri untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya, menjadi perhatian pokok sang Kyai.[3] Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang kompleks, maka hampir tidak mungkin untuk menunjukkan dan menyimpulkan bahwa suatu metode tertentu lebih unggul daripada metode yang lainnya dalam usaha mencapai semua tujuan pembelajaran. B. Pengertian Model Pembelajaran Pesantren Secara etimologis, metode berasal dari kata “met” dan “hodes” yang berarti melalui. Sedangkan secara terminologi, metode adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian yang dimaksud dengan metode pembelajaran adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Adapun metode yang digunakan di lingkungan pondok pesantren antara lain, seperti tersebut di bawah ini dengan penyesuaian menurut situasi dan kondisi masing-masing 4. Metode pemberian situasi 6. Metode problem solving 14. Metode berdasarkan teori 15. Metode hafalan/ verbalisme 18. Metode dengan sistem modul Secara umum metode pembelajaran yang diterapkan pondok pesantren mencakup dua aspek, yaitu 1. Metode yang bersifat tradisional salaf, yakni metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai metode pembelajaran asli original pondok pesantren. 2. Metode pembelajaran modern tajdid, yakni metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak diikuti dengan menerapkan sistem modern, seperti sistem sekolah atau madrasah.[4] Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional, yaitu model sorogan dan model bandongan. Baik dengan model sorogan maupun bandongan keduanya dilakukan dengan pembacaan kitab yang dimulai dengan pembacaan tarjamah, syarah dengan analisis gramatikal, peninjauan morfologi dan uraian semantik. Kyai sebagai pembaca dan penerjemah, bukanlah sekadar membaca teks, melainkan juga memberikan pandangan-pandangan interpretasi pribadi, baik mengenai isi maupun bahasanya. Kedua model pengajaran ini oleh sementara pakar pendidikan dianggap statis dan tradisional. Secara teknis, model sorogan bersifat individual, yaitu santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sedangkan model bandongan weton lebih bersifat pengajaran klasikal, yaitu santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kyai menerangkan pelajaran secara kuliah dengan terjadual. C. Macam-Macam Model Pembelajaran Pesantren Berikut ini beberapa metode pembelajaran yang menjadi ciri utama pembelajaran di pesantren salafiyah Sorogan berasal dari kata sorog bahasa jawa, yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan Kyai atau pembantunya badal, asisten Kyai. Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal antara keduanya.[5] Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada tempat duduk Kyai atau ustadz, di depannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Setelah Kyai atau ustadz membacakan teks dalam kitab kemudian santri mengulanginya. Sedangkan santri-sanri lain, baik yang mengaji kitab yang sama ataupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh Kyai atau ustadz sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran dipanggil. Inti metode sorogan adalah berlangsungnya proses belajar mengajar secara face to face antara Kyai dan santri. Keunggulan metode ini adalah Kyai secara pasti mengetahui kualitas anak didiknya, bagi santri yang IQ nya tinggi akan cepat menyelesaikan pelajaran, mendapatkan penjelasan yang pasti dari seorang Kyai. Kelemahannya adalah metode ini membutuhkan waktu yang sangat banyak. Meskipun sorogan ini dianggap statis, tetapi bukan berarti tidak menerima inovasi. Malah menurut Suyoto, metode ini sebenarnya konsekuensi daripada layanan yang ingin diberikan kepada santri. Berbagai usaha dewasa ini dalam berinovasi dilakukan justru mengarah kepada layanan secara indivual kepada anak didik. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang.[6] Mastuhu memandang bahwa sorogan adalah metode mengajar secara indivividual langsung dan intensif. Dari segi ilmu pendidikan, metode ini adalah metode yang modern karena antara Kyai dan santri saling mengenal secara erat. Kyai menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan, begitu pula santri juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya. Metode sorogan dilakukan secara bebas tidak ada paksaan, dan bebas dari hambatan formalitas.[7] 2. Metode Wetonan/ Bandongan Wetonan istilah ini berasal dari kata wektu bahasa jawa yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardhu. Metode wetonan ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat disebut dengan bandongan. Pelaksanaan metode ini yaitu Kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat gundul. Santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabitan harakat kata langsung di bawah kata yang dimaksud agar dapat membantu memahami teks. Metode bandongan atau weton adalah sistem pengajaran secara kolektif yang dilakukan di pesantren.[8] Disebut weton karena berlangsungnya pengajian itu merupakan inisiatif Kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, terutama kitabnya. Disebut bandongan karena pengajian diberikan secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Kelompok santri yang duduk mengitari Kyai dalam pengajian itu disebut halaqoh. Prosesnya adalah Kyai membaca kitab dan santri mendengarkan, menyimak bacaan Kyai, mencatat terjemahan serta keterangan Kyai pada kitab atau biasa disebut ngesahi atau njenggoti.[9] H. Abdullah Syukri Zarkasyi, memberikan definisi tentang metode bandongan, yaitu “Di mana Kyai membaca kitab dalam waktu tertentu, santri membawa kitab yang sama, mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai”.[10] Sedangkan Nurcholis Madjid memberikan definisi tentang metode weton. Menurutnya, “weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari Kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu maupun lebih-lebih lagi kitabnya”.[11] Senada dengan hal di atas, Hasbullah mendefinisikan tentang metode wetonan, menurutnya[12] Metode wetonan adalah metode yang di dalamnya terdapat seorang Kyai yang membaca kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif. Zamakhsyari Dhofier juga memberikan definisi tentang metode bandongan, menurutnya[13] Dalam sistem ini sekelompok murid antara 5 sampai 500 mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan baik arti maupun keterangan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran bandongan sama dengan metode wetonan maupun halaqah. Dalam model pembelajaran ini, santri secara kolektif mendengarkan dan mencatat uraian yang disampaikan oleh Kyai, dengan menggunakan bahasa daerah setempat, dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, materi kitab dan tempat sepenuhnya ditentukan oleh Kyai. Keunggulan metode ini adalah lebih cepat dan praktis sedangkan kelemahannya metode ini dianggap tradisional. Biasanya metode ini masih digunakan pada pondok-pondok pesantren salaf. 3. Metode Musyawarah/ Bahtsul Masa'il Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa'il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh Kyai atau ustadz, atau mungkin juga senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya.[14] Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pendapatnya. Kegiatan penilaian oleh Kyai atau ustadz dilakukan selama kegiatan musyawarah berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang diberikan oleh peserta yang meliputi kelogisan jawaban, ketepatan dan kevalidan referensi yang disebutkan, serta bahasa yang disampaikan dapat mudah difahami oleh santri yang lain. Hal lain yang dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan peserta dalam membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan.[15] 4. Metode Pengajian Pasaran Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi kitab tertentu pada seorang Kyai/ ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus selama tenggang waktu tertentu. Pada umumnya dilakukan pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang dikaji. Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan, tetapi pada metode ini target utamanya adalah selesainya kitab yang dipelajari. Jadi, dalam metode ini yang menjadi titik beratnya terletak pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada metode bandongan. 5. Metode Hapalan Muhafazhah Metode hapalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghapal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan Kyai/ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghapal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hapalan yang dimiliki santri ini kemudian dihapalkan di hadapan Kyai/ustadz secara periodik atau insidental tergantung kepada petunjuk Kyai/ustadz yang bersangkutan.[16] Materi pelajaran dengan metode hapalan umumnya berkenaan dengan Al Qur’an, nazham-nazham nahwu, sharaf, tajwid ataupun teks-teks nahwu, sharaf dan fiqih. 6. Metode Demonstrasi/ Praktek Ibadah Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan meperagakan mendemonstrasikan suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan Kyai/ustadz. dengan kegiatan sebagai berikut - Para santri mendapatkan penjelasan/ teori tentang tata cara pelaksanaan ibadah yang akan dipraktekkan sampai mereka betul-betul memahaminya. - Para santri berdasarkan bimbingan para Kyai/ ustadz mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk kegiatan praktek. - Setelah menentukan waktu dan tempat, para santri berkumpul untuk menerima penjelasan singkat berkenaan dengan urutan kegiatan yang akan dilakukan serta pemberian tugas kepada para santri berkenaan dengan pelaksanaan praktek. - Para santri secara bergiliran/ bergantian memperagakan pelaksanaan praktek ibadah tertentu dengan dibimbing dan diarahkan oleh Kyai/ ustadz sampai benar-benar sesuai kaifiat tata cara pelaksanaan ibadah sesungguhnya. - Setelah selesai kegiatan praktek ibadah para santri diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang dipandang perlu selama berlangsung kegiatan.[17] Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Beberapa pesantren, latihan muhawarah atau muhadasah tidak diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau dua kali dalam seminggu yang digabungkan dengan latihan muhadhoroh atau khitobah, yang tujuannya melatih keterampilan anak didik berpidato. Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah tersebut dapat dibedakan atas dua tingkat kegiatan - Mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan mempergunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang santri ditunjuk sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang didiskusikan - Mudzakarah yang dipimpin oleh Kyai, dimana hasil mudzakarah para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi Tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab.[18] D. Pengembangan Model Pembelajaran Pesantren Dalam upaya pengembangan model pembelajaran di pesantren, yang menjadi pertimbangan bukan upaya untuk mengganti metode sorogan menjadi model perkuliahan sebagaimana sistem pendidikan modern, melainkan merenovasi sorogan menjadi sorogan yang mutakhir gaya baru. Dimaksudkan sorogan yang mutakhir ini sebagaimana praktik dosen-dosen selama ini. Mereka mengajar kuliah dengan model sorogan. Mahasiswa diberi tugas satu persatu pada waktu tatap muka yang terjadual, setelah membaca diadakan pembahasan dengan cara berdialog dan berdiskusi sampai mendapatkan pemahaman yang jelas pada pokok bahasan.[19] Sejalan dengan itu, tampaknya perlu dikembangkan di pesantren model sorogan gaya mutakhir ini sebagai upaya pengembangan model pengajaran. Sudah barang tentu akan lebih lengkap apabila beberapa usulan metode sebagai alternatif perlu dipertimbangkan, seperti metode ceramah, kelompok kerja, tanya-jawab, diskusi, demonstrasi, eksperimen, widya wisata, dan simulasi.[20] Metode pembelajaran yang lebih baik ialah mempergunakan kegiatan murid-murid sendiri secara efektif dalam kelas, merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sedemikian rupa secara kontinu dan juga melalui kerja kelompok. Hal tersebut senada dengan ucapan Confusius dalam Mel Siberman[21] Apa yang saya dengar, saya lupa Apa yang saya lihat, saya ingat Apa yang saya lakukan, saya faham Pola pengembangan pembelajaran yang disebutkan di atas, dapat dituangkan ke dalam metode pembelajaran yang digunakan sewaktu mengajar. Adapun metode-metode tersebut adalah sebagai berikut Metode Pembelajaran Terbimbing Dalam teknik ini, guru menanyakan satu atau lebih pertanyaan untuk membuka pengetahuan mata pelajaran atau mendapatkan hipotesis atau kesimpulan mereka dan kemudian memilahnya kedalam kategori- kategori. Metode pembelajaran terbimbing merupakan perubahan dari ceramah secara langsung dan memungkinkan santri mempelajari apa yang telah diketahui dan dipahami sebelum membuat poin-poin pengajaran. Metode ini sangat berguna ketika mengajarkan konsep-konsep abstrak.[22] Metode Mengajar Teman Sebaya Beberapa ahli percaya bahwa satu mata pelajaran benar-benar dikuasai hanya apabila seorang peserta didik mampu mengajarkan pada peserta lain. Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan pada peserta didik mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang sama, ia menjadi narasumber bagi yang lain.[23] Adapun langkah-langkah metode mengajar teman sebaya ini, adalah - Memulai dengan memberikan kisi-kisi atau bahan pelajaran kepada santri - Menyuruh santri untuk mempelajarinya atau mendiskusikannya sejenak - Menunjuk perwakilan dari santri untuk maju ke depan - Menyuruh perwakilan santri tersebut untuk mengajarkan menerangkan materi yang telah didiskusikan atau dipelajari. Dalam keadaan aslinya pondok pesantren memiliki sistem pendidikan dan pengajaran non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan wetonan. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran ini berbeda antara satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya, dalam arti tidak ada keseragaman sistem dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya. Secara umum metode pembelajaran yang diterapkan pondok pesantren mencakup dua aspek, yaitu metode yang bersifat tradisional salaf dan metode pembelajaran modern tajdid. Namun secara rinci dapat disebutkan beberapa model pembelajaran pesantren yaitu model sorogan, wetonan bandongan, musyawarah bahtsul masa’il, pengajian pasaran, muhafadzah hapalan, demonstrasi, muhawarah, dan mudzakarah. Perlu adanya pengembangan model pembelajara di pesantren yaitu dengan menggunakan metode pembelajaran yang lebih baik yakni mempergunakan kegiatan murid-murid sendiri secara efektif dalam kelas, merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sedemikian rupa secara kontinu dan juga melalui kerja kelompok. Pola pengembangan pembelajaran yang dimaksud adalah metode pembelajaran terbimbing dan metode mengajar teman sebaya. Agama RI, Departemen. Pola Pembelajaran Di Pesantren . Jakarta Departemen Agama RI, 2001. Ali, A. Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta Rajawali Press, 1987. Arifin, Imron . Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang Kalimasyahada Press, 1993. Depag RI. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah; Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta Depag RI, 2003. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta LP3S, 1985. Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam/ Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren. Profil Pondok Pesantren Muaddalah. Depag RI, 2004. Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta Raja Grafindo Persada, 1995. Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta Paramadina, 1997. Munawaroh, Djunaidatul. “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”, dalam Abuddin Nata ed. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia Bekerja Sama dengan IAIN Jakarta, 2001. Rahardjo, M. Dawam ed. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. Jakarta Perhimpunan Pengembangan Pesantren, 1985. Siberman, Mel. Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject, Terj. H. Sardjuli dkk. Yogyakarta Yappendis, 1996. SM, Ismail. “Pengembangan Pesantren Tradisional”, dalam Ismail SM Ed.. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yoyakarta Pustaka Pelajar, 2002. Suyoto. “Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional”, dalam M. Dawam Rahardjo Ed.. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta LP3ES, 1988. Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM. Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1993. Zarkasyi, Abdullah Syukri. “Pondok Pesantren Sebagai Alternarif Kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara”, dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi. Studi Islam Asia Tenggara. Surakarta Muhammadiyah University Press, 1999.
dalamkajian hukum kenegaraan, pesantren merupakan jenis pendidikan keagamaan, dimana menurut undang-undang bahwa "pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama."[17] dari situ dapat dikatakan bahwa pesantren
p class="16bIsiAbstrak">Pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren merupakan salah satu bentuk integrasi sistem pembelajaran madrasah dengan pesantren dalam upaya meningkatkan lulusan pesantren yang bermutu, dan dapat meningkatkan prestasi siswa, meningkatkan popularitas, meningkatkan daya saing baik itu lembaga maupun lulusannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan prestasi mata pelajaran umum dipesantren, untuk itu diperlukan suatu sistem pembelajaran yang tepat, karenanya penelitian ini bertujuan 1 menganalisis tentang respons pimpinan dan santri terhadap diterapkannya integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum, 2 menjelaskan implementasi integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum, dan 3 menemukan tingkat kepuasan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, sedangkan instrumen dalam penelitian ini adalah angket, wawancara mendalam dan dokumentasi. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 1 Respons pimpinan dan santri sangat setuju diterapkan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren karena meyakini mampu melaksanakan dan memadukan antara pelajaran “umum” dan “agama” secara seimbang dan proporsional, memberi kesempatan untuk berkompetensi, serta mampu menciptakan manusia akademik yang memiliki kompetensi integratif dalam penguasaan pengetahuan agama maupun umum, 2 Dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif; mencapai prestasi sesuai dengan tujuan yang tepat dari beberapa pilihan yang telah ditetapkan, efisien, Fleksibel, luwes, mudah, cepat sesuai dengan karakter pesantren, dan 3 Menemukan tingkat kepuasan yang tinggi, seperti; pencapaian hasil belajar, peningkatan kemampuan individu, menentukan kebutuhan pembelajaran, menentukan strategi dalam peningkatan kualitas ^2 = pangkat dua Pengambilan sampel dalam penelitian adalah stratified sampling artinya hanya populasi santri setingkat MTs kelas 8 yang berjumlah 142 orang, dari jumlah populasi 142 kemudian diambil sampel untuk kebutuhan penelitian dengan menggunakan rumus Solvin sbb n = N / 1 + N x e² Sehingga n = 142 / 1 + 142 x 0,05² n = 142 / 1 + 142 x 0,0025 n = 142 / 1 + 2,5 n = 142 / 3,5 n = 40. Apabila dibulatkan maka besar sampel dari 142 populasi pada margin of error 5% adalah sebesar 40. C. Sumber Data Menurut Moleong pencatatan sumber data melalui wawancara atau pengamatan merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat mendengar, dan bertanya Moleong, 2000. Pada penelitian kualitatif, kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara sadar, terarah dan senantiasa bertujuan memperoleh suatu informasi yang diperlukan. Menurut Arikunto sumber data adalah subjek dari mana suatu data dapat diperoleh Arikunto, 1998. Sumber data adalah pimpinan pondok pesantren, ustazah dan para santri Pesantren. D. Teknik Pengumpulan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian pengumpulan data adalah proses, cara, perbuatan mengumpulkan, atau menghimpun data Penyusun, 1990. Sedangkan instrumen adalah alat yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu seperti alat yang dipakai oleh pekerja teknik, alat-alat kedokteran, optik, dan kimia, perkakas, sarana penelitian berupa seperangkat tes dan sebagainya untuk mengumpulkan data sebagai bahan pengolahan. 1. Survei Husein Umar mengatakan 2001 Survei digunakan untuk mengukur gejala-gejala yang ada tanpa menyelidiki kenapa gejala-gejala tersebut ada, sehingga tidak perlu memperhitungkan hubungan antara variabel-variabel karena hanya mengguna-kan data yang ada untuk pemecahan masalah daripada menguji hipotesis. 2. Angket Angket. Alat yang pengumpulan data Angket juga dikenal dengan sebuah kuesioner. Komalasari alat ini secara besar terdiri dari tiga bagian yaitu judul angket. Pengantar yang berisi tujuan, atau petunjuk pengisian angket, dan item-item pertanyaan yang berisi opini atau pendapat dan fakta Komalasari & Wahyuni, 2011. Fakhruddin, Saepudin 100 Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 Menurut Arikunto angket adalah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadi atau hal-hal yang ia ketahui Arikunto, 1998. Sedangkan menurut Sugiyono angket atau kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab Sugiyono, 2012. Angket untuk mengumpulkan data tentang; 1- Angket untuk mengumpulkan data tentang; 1- Sikap pimpinan terhadap penerapan Integrasi sistem pembelajaran, 2- Tingkat efektivitas pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran. 3- Tingkat kepuasan pimpinan terhadap hasil evaluasi setelah pelaksanaan program pembelajaran Angket yang berisi sejumlah pernyataan yang menggambarkan variabel Integrasi sistem pembelajaran yang berisikan tiga indikator yaitu tentang; Penerapan, Implementasi dan Evaluasi. diukur secara kuantitatif skala Likert. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisir suatu pengamatan, kemampuan antara lain kemampuan untuk membedakan, untuk mengelompokkan, dan memfokuskan Sarwono, 1983. Oleh karena itu seseorang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda, walaupun objeknya sama. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam hal sistem nilai dan ciri kepribadian individu yang bersangkutan., Jalaluddin Rahmat mendefinisikan pengertian persepsi sebagai “pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan” Rahmat, 1994. Kesamaan pendapat ini terlihat dari makna menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan yang memiliki keterkaitan dengan proses untuk memberi arti. Menurut Walgito ada tiga syarat terjadinya persepsi yaitu 1- Adanya objek yang dipersepsi.. 2- Adanya alat indra atau reseptor.. 3- Adanya perhatian Walgito, 1980. Suharsimi Arikunto mengemukakan instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnyaArikunto, 1998. Ibnu Hadjar menambahkan bahwa instrumen merupakan alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel secara objektif Ibnu, 1999. 3. Wawancara Mendalam Menurut Santoso fungsi wawancara dalam penelitian adalah 1- Mendapatkan informasi langsung dari responden. 2- Mendapatkan informasi, Wawancara ini dilakukan dalam suasana akrab agar peneliti dan responden tercipta hubungan yang baik dan harmonis . Wawancara memerlukan syarat penting yakni terjadinya hubungan yang baik dan demokratis antara responden dan penanya Santoso, 2005. 4. Studi dokumentasi Integrasi dalam Sistem Pembelajaran di Pesantren Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 101 Studi dokumen dimaksudkan sebagai pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. 5. Triangulasi Data. Menurut Sugiyono triangulasi, dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada Sugiyarto, 2013. E. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data merupakan kegiatan awal sebelum peneliti melakukan analisa terhadap data yang sudah dikumpulkan. Kegiatan ini meliputi tahap editing, coding dan penyederhanaan data 1. Editing, editing menurut Abun Ahmadi dan Kholid adalah meneliti data-data yang telah diperoleh, terutama dari kelengkapan jawaban, keterbacaan tulisan, kejelasan makna, kesesuaian dan relevansinya dengan data yang lain Ahmadi, 1991. 2. Koding, koding yaitu kegiatan melakukan klasifikasi data atau pemilahan data dari setiap item instrumen tersebut menggunakan skala Likert berupa bentuk pilihan. Sugiono mengatakan skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang fenomena sosial. Untuk setiap item pernyataan diberi skor satu sampai dengan lima dari hasil yang terendah sampai yang tertinggi Sugiyono, 2012. 3. Tabulasi, tabulasi yaitu; Kegiatan melakukan pengolahan data ke dalam bentuk tabel Menurut Sujana secara umum penyajian data sering digunakan dalam bentuk diagram dan tabel Sudjana, 1995. F. Teknik Analisis Data 1. Analisa Data Menurut Lexy J. Moleong analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data Moleong, 2000. Tujuan analisa menurut Anas. Sudijono, adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasi. Menurut Suharsimi adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan norma dan acuan patokan. Dengan demikian kegiatan mengubah/mengonversi skor menjadi nilai disebut kegiatan menilai Arikunto, 1998. Menurut Anas Sudijono skor adalah hasil pekerjaan menskor memberikan skor yang diperoleh dengan jalan menjumlahkan angka-angka bagi setiap butir item yang oleh testee istilah bagi orang yang mengerjakan tes telah dijawab dengan betul, dengan memperhatikan bobot jawaban betulnya. Kriteria untuk menggambarkan data dalam penelitian ini berpedoman pada Kriteria Penilaian Rapor Dinas Pendidikan 2013. sebagai berikut Fakhruddin, Saepudin 102 Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 Kriteria Tingkat Kemampuan Berdasarkan Persentase Skor Tingkat Kemampuan Skor Standar Kriteria 90% - 100% A Baik Sekali 80% - 89% B Baik 65% - 79% C Cukup 55% - 64% D Kurang 0% - 54% E Kurang Sekali 2. Penafsiran Data Penafsiran adalah penjelasan yang terperinci tentang arti yang sebenarnya dari materi yang dipaparkan. Menurut Moh. Nazir data yang dalam bentuk tabel perlu diberikan penjelasan yang terperinci dengan cara 1- untuk menegakkan keseimbangan suatu penelitian, dalam pengertian menghubungkan hasil suatu penelitian dengan penemuan penelitian lainnya. 2- untuk membuat atau menghasilkan suatu konsep yang bersifat menerangkan atau menjelaskan Nazir, 2005. Masri Singarimbun mengatakan penafsiran dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama, interpretasi secara terbatas di mana peneliti hanya melakukan interpretasi atas data dan hubungan yang ada dalam penelitiannya, cara ini dilakukan secara bersamaan pada saat analisis data dilakukan. Cara kedua, peneliti berusaha mencari pengertian yang lebih luas tentang hasil-hasil yang diperoleh dari analisis, cara ini dilakukan dengan membandingkan hasil analisisnya dengan kesimpulan peneliti lain serta menghubungkan interpretasi tersebut dengan teori Singarimbun & Effendi, 1989. Penafsiran atas data penelitian ini sangat diperlukan untuk membuat kesimpulan penelitian khususnya yang menyangkut variabel-variabel yang diteliti a. Membuat tabel distribusi jawaban angket variabel Respons santri dan variabel respons Pimpinan/Ustaz. b. Menentukan skor jawaban responden dengan ketentuan skor yang telah ditetapkan. c. Menjumlahkan skor jawaban yang diperoleh dari tiap-tiap responden. d. Memasukkan skor tersebut ke dalam rumus Dp n x 100% N Keterangan DP Deskripsi persentase n Jumlah skor yang diharapkan N Jumlah Responden Kemudian penulis kembangkan sesuai dengan tujuan penelitian menjadi 7 kriteria di bawah ini 100% Seluruhnya 76% - 99% Sebagian besar Integrasi dalam Sistem Pembelajaran di Pesantren Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 103 51% - 75% Lebih dari setengahnya 50% Setengahnya 26% - 49% Kurang dari setengahnya 1% - 25% Sebagian kecil 0% Tidak seorang pun Batasan tersebut lalu ditafsirkan dengan menggunakan kriteria interpretasi skor seperti berikut, Angka 0% - 20% Sangat lemah Angka 21% - 40% Lemah Angka 41% - 60% Cukup Angka 61% - 80% Kuat Angka 81% - 100% Sangat Kuat Kriteria interpretasi skor tersebut selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ditinjau dari respons dan di tafsirkan sebagai berikut Angka 0% - 20% Sangat tidak menerima Angka 21% - 40% Tidak menerima Angka 41% - 60% Cukup menerima Angka 61% - 80% Menerima Angka 81% - 100% Sangat menerima III. HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Temuan 1. Pengumpulan Data Pengertian pengumpulan data adalah proses, cara, perbuatan mengumpulkan, atau menghimpun data. Sedangkan instrumen adalah alat yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu. Suharsimi Arikunto berpendapat bahwa instrumen merupakan alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel secara objektif Arikunto, 1998 a. Angket Instrumen yang digunakan pengambilan data penelitian adalah Angket menurut Ibnu Hajar penelitian memiliki arti pemeriksaan, penyelidikan, kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data secara sistematis dan objektif Ibnu, 1999. Bentuk angket dalam pengumpulan data penelitian adalah angket dengan skala likert seperti Sangat Setuju/SST = 4. Setuju/ST = 3. Tidak Setuju/ST= 2 dan Sangat Tidak Setuju/STS = 1. Opsi empat jawaban ini dianggap cocok untuk menghindari responden memberikan jawaban tidak mantap. Suharsimi Arikunto mengatakan ada kelemahan Fakhruddin, Saepudin 104 Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 lima alternatif, karena responden cenderung memilih alternatif yang ada di tengah dirasa aman dan paling gampang karena hampir tidak berpikir Arikunto, 1998. b. Wawancara Terstandar Ibnu Hajar mengemukakan pada dasarnya wawancara terstandar standardized interview tidak jauh berbeda dari angket sebagai teknik pengumpulan data penelitian Ibnu, 1999. Hanya saja, dalam wawancara peneliti, atau orang lain yang ditugaskan sebagai pewawancara, sekaligus berfungsi sebagai instrumen untuk menggali informasi dari subyek 2. Penyajian Data Anas Sudijono mengatakan pembuatan tabel dalam penyajian data adalah langkah awal analisa data, Alat penyajian data yang berbentuk kolom dan lajur yang di dalamnya memuat angka yang dapat melukiskan atau menggambarkan atau pembagian frekuensi dari variabel yang sedang menjadi obyek penelitian Anas, 2003. Suharsimi Arikunto mengatakan jika pilihan jawaban dari angket berbentuk "Ya" dan "Tidak", peneliti tinggal menjumlahkan saja berapa banyak jawaban "Ya" dan "Tidak" Arikunto, 1998. Penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabel sebagaimana dikenalkan oleh Sudjana bahwa penyajian data yang sering digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel atau diagram Sudjana, 1996. Adapun data-data responden yang disajikan dalam bentuk tabel adalah a. Lihat pada bagian lampiran-lampiran, tabel berisi instrumen dan kisi-kisi angket terdiri dari; Variabel, Dimensi, Indikator, dan butir soal pernyataan, sementara untuk setiap opsi pernyataan responden akan penulis jelaskan pada bagian pembahasan analisa data. b. Tabel kerja yang berguna sebagai pedoman analisa data dan interpretasi data yang berisi tentang 1 Tabel kerja Respons pimpinan dan 2- Tabel kerja respons Santri dapat dilihat pada bagian lampiran 2 Perhitungan Distribusi Frekuensi Relatif atau Persentase dengan Rumus H - l = Nilai tertinggi dikurangi nilai terendah, Jarak antara nilai tertinggi dengan nilai terendah Range dibagi ke dalam empat garis nilai yang dibutuhkan SST, ST, TS, STS Nilai tertinggi – nilai terendah = 4 x 20 = 80 = 1 x 20 = 20 = 80 – 20 = 60 Nilai Kelas yang dibutuhkan = 60 4 + 1 = 15+1 Banyaknya Kelas Interval = 4 Kelas Integrasi dalam Sistem Pembelajaran di Pesantren Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 105 Range Kelas Interval = 15 + 1 Distribusi Relatif Frekuensi atau Persentase Tentang Respons Santri terhadap program Integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum Tabel 1. Respons Santri Distribusi Relatif Frekuensi atau Persentase Tentang Respons Ustaz terhadap program Integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum. Tabel 2. Respons Ustaz Tabel 3. Katagori persentase Respons Santri Tabel 4. Katagori persentase Respons Ustaz Tabel 5. Sekor Responden Untuk Setiap Katagori Distribusi Relatif Frekuensi atau Persentase Fakhruddin, Saepudin 106 Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 Respons pimpinan/ustaz dan santri terhadap kebijakan diterapkannya integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren Efektivitas pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren Tingkat kepuasan hasil evaluasi pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren 3. Analisa Data Analisa data adalah sebuah kegiatan yang mengubah data hasil penelitian menjadi informasi. Anas Sudijono mengemukakan tabel frekuensi di katakana frekuensi relatif sebab frekuensi yang disajikan di sini bukanlah frekuensi yang sebenarnya, melainkan frekuensi yang dituangkan dalam bentuk angka presentasi Anas, 2003. Tujuan analisa menurut Sofian Effendi dalam bukunya adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasi Singarimbun & Effendi, 1989. Atas dasar tersebut, penulis menggunakan analisa data frekuensi dan persentase sbb a. Respons pimpinan terhadap integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren Dari tabel di atas bahwa pernyataan ustaz tentang integrasi dalam sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren dapat dilihat dari 20 santri sekitar 6 orang ustaz atau 30% menjawab sangat setuju dengan penggunaan metode halaqoh dan halaqoh, 10 orang ustaz atau 50% menyatakan setuju, sedangkan 4 orang ustaz 20% menyatakan tidak setuju. Dengan demikian, bahwa integrasi dalam sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren dengan sebagian besar dari ustaz menyatakan setuju b. Tentang Respons santri Dari tabel di atas bahwa pernyataan ustaz tentang integrasi dalam sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren dapat dilihat dari 20 ustaz sekitar 8 orang ustaz atau 40% menjawab sangat setuju dengan penggunaan metode halaqoh dan halaqoh, 10 orang ustaz atau 50% menyatakan setuju, sedangkan 2 orang ustaz 10% menyatakan tidak setuju. Dengan demikian bahwa integrasi dalam sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren dengan besar pimpinan/ ustaz menyatakan setuju c. Tentang Respons Pimpinan/ Ustaz untuk Setiap Katagori 1 Respons terhadap diterapkannya kebijakan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren, secara keseluruhan mempunyai respons relatif sama rata-rata SST= 18. 30% . ST = 30. 50 %. TS= 9. 15%. Dan STS= 3. 5%. Integrasi dalam Sistem Pembelajaran di Pesantren Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 107 2 Respons terhadap efektivitas Pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran, secara keseluruhan responden memberikan tanggapan sbb SST= 21. 35 % . ST + 24. 40 %. TS= 9. 15 %. dan STS= 6. 10 %. 3 Respons terhadap tingkat kepuasan hasil evaluasi pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran, Responden memberikan tanggapan sbb SST= 15. 25% . ST + 30. 30%. TS= 9. 15%. Dan STS= 6. 10%. Dapat disimpulkan bahwa penerapan integrasi dalam sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren dapat digunakan sebagai alternatif dalam usaha untuk meningkatkan prestasi belajar santri dengan beberapa kelebihan di antaranya a. Ada interaksi individual dan komunikasi efektif antara santri dan kiai b. Santri lebih dapat dibimbing dan diarahkan baik dari segi bahasa maupun pemahaman isi materi, dievaluasi dan diketahui kemampuan diri santri c. Materi sering diulang sehingga memudahkan untuk memahaminya d. Sangat efisien dan teliti dalam memahami kalimat dalam materi e. Santri diminta terlebih dahulu mempelajari sendiri materi-materi yang akan diajarkan, sehingga santri dapat menyelaraskan pemahamannya dengan pemahaman santri tentang maksud dari materi yang akan diajarkan f. Sistem ini mendidik santri belajar secara mandiri. Dengan demikian hasil pelajaran lebih tahan lama dan membekas dalam ingatan santri. g. Santri akan mudah mempraktikkan dan mengamalkan pengetahuan yang mereka dapatkan di pesantren. h. Bahan pelajaran dapat disampaikan sebanyak mungkin dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama i. Organisasi kelas lebih sederhana dan mudah dilaksanakan karena tidak terlalu banyak memakan biaya dan tenaga. j. Mendorong terjalinnya kepercayaan timbal balik antara santri dengan santri yang ingin menekuni aktivitas yang ada dalam sistem Klasikal, Sorogan maupun halaqoh. k. Penggunaan sistem halaqoh dan halaqoh dapat mendorong terciptanya hubungan emosional yang kuat yang intens antara sang santri dengan santri. B. Pembahasan Pembahasan hasil penelitian dimaksudkan adalah pembahasan yang menjelaskan pemaknaan terhadap data-data hasil penelitian berkaitan dengan permasalahan yaitu kategori; 1- Respons terhadap kebijakan diterapkannya integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren. 2- Respons terhadap efektivitas pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum. 3-Respon terhadap tingkat kepuasan hasil evaluasi pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum. Seperti berikut Fakhruddin, Saepudin 108 Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 1. Respons Pimpinan terhadap diterapkannya integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren Respons terhadap diterapkannya kebijakan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren, secara keseluruhan mempunyai respons relatif sama rata-rata SST= 18. 30% . ST = 30. 50 %. TS= 9. 15%. Dan STS= 3. 5%. berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan menerapkan sistem pembelajaran di pesantren dengan umum mendapat respons secara keseluruhan rata-rata setuju, ini berarti sistem pembelajaran mata pelajaran umum dapat di integrasikan antara sistem pesantren dan umum. Berdasarkan teori yang relevan dikemukakan oleh Abudin Nata bahwa Ilmu pengetahuan dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman. Menurut Mastuhu. bahwa sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran relatif. Adapun menurut Mulyadi Kartanegara, dalam tradisi ilmiah Islam selain menggunakan metode observasi indrawi juga menggunakan metode demonstratif burhani dan eksperimen tarjibi. bisa juga menjadi basis integrasi bagi berbagai jenis pengalaman manusia, baik yang bersifat indrawi, intelektual, mental, mistikal maupun spiritual. Nurhayati Djamas dalam Undang-undang pendidikan nasional, yang menempatkan madrasah sebagai sekolah umum bercirikan Islam dan pada UU Sisdiknas memberikan kedudukan yang sama dengan sekolah umum Djamas, 2009. Hal ini juga merupakan jawaban terhadap perubahan tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim dalam menghadapi perkembangan dunia modern. Implikasi yang berkaitan dengan hasil penelitian yaitu a. Integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum dapat dilaksanakan secara berkelanjutan secara seimbang dan proporsional. b. Integrasi sistem pembelajaran akan berjalan efektif dengan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan c. Kepemimpinan pendidikan adalah pemimpin yang proses keberadaannya dapat dipilih secara langsung, ditetapkan oleh yayasan, atau ditetapkan oleh pemerintah d. Integrasi sistem pembelajaran sebagai upaya memberi kesempatan untuk berkompetensi yang sehat dalam mencapai prestasi akademik, penarik minat meningkatkan kualitas dan keefektifan pembelajaran. e. Pengembangan sistem ini akan mampu pula menciptakan manusia akademik yang berkualitas baik secara intelektual maupun keimanannya, dengan tidak menghilangkan karakteristik pesantren. Integrasi dalam Sistem Pembelajaran di Pesantren Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 109 f. Seorang pemimpin akan memiliki sikap yang berkualitas, mampu memberikan dorongan dan mendatangkan manfaat yang positif. g. Menerima dan mempelajari terhadap kebudayaan yang terbuka dengan perubahan dan perbedaan dengan sikap yang positif, h. Dapat menerima globalisasi menarik minat masyarakat untuk belajar di pesantren. 2. Respons terhadap tingkat efektivitas pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren Respons terhadap efektivitas Pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran, secara keseluruhan responden memberikan tanggapan sebagai berikut SST= 21. 35 % . ST + 24. 40 %. TS= 9. 15 %. dan STS= 6. 10 %. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa respons terhadap efektivitas sistem pembelajaran mendapat tanggapan yang baik. Berdasarkan teori yang relevan bahwa Sistem pembelajaran adalah satu keseluruhan terpadu dari semua satuan dan kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan yang lainnya, dalam melaksanakan proses pembelajaran suatu materi pembelajaran perlu dipikirkan metode pembelajaran yang tepat. Menurut Oemar Hamalik sistem adalah seperangkat komponen atau unsur-unsur yang saling terintegrasi untuk mencapai suatu tujuan Hamalik, 1994. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia sistem adalah perangkat atau unsur yang secara langsung saling berkaitan dan sehingga membentuk totalitas. Sumiyati Asra efektivitas penggunaan metode pembelajaran tergantung pada kesesuaian metode pembelajaran dengan beberapa faktor, yaitu tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, kemampuan guru, kondisi siswa, sumber atau fasilitas, situasi kondisi dan waktu Sumiati, 2009. Nurhayati Djamas Gagasan dan upaya untuk mewujudkan kebijakan pendidikan nasional yang terintegrasi dengan meniadakan dualisme sistem pendidikan yang telah muncul sejak awal kemerdekaan ketika pemerintah menyiapkan rancangan kebijakan pendidikan nasional dalam bentuk undang-undang sistem pendidikan. Sejalan dengan apa yang di tuliskan Sumiati dan Asra bahwa dalam melaksanakan proses pembelajaran suatu materi pembelajaran perlu dipikirkan metode pembelajaran yang tepat Sumiati, 2009. Efektivitas penggunaan metode pembelajaran tergantung pada kesesuaian metode pembelajaran dengan beberapa faktor, yaitu tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, kemampuan guru, kondisi siswa, sumber atau fasilitas, situasi kondisi dan waktu. Dalam pemilihan isi yang bermanfaat adalah hal pokok untuk menjadikan integrasi sist6em pembelajaran menjadi efektif. Isi dapat dikemas dalam bentuk topik tertentu yang kemudian dikembangkan menjadi unit-unit kerja yang menunjukkan urutan perkembangan konsep dan keahlian. Fakhruddin, Saepudin 110 Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 Selanjutnya Mulyono 1997 Abdurahman, mengemukakan bahwa “pendidikan integrasi paling sedikit harus memenuhi empat kriteria, yaitu 1- mengintegrasikan peserta didik. 2- mengintegrasikan potensi kognitif, afektif, psikomotor 3- mengintegrasikan hakikat manusia dalam bentuk sistem pembelajaran. 4- mengintegrasikan apa yang dipelajari peserta didik saat ini dengan tugas yang harus diemban di masa mendatang. Penelitian ini memberikan beberapa implikasi, antara lain a. Dapat mengetahui perannya masing-masing dan terjadi interaksi yang baik dalam pembelajaran. b. Aktivitas santri dalam pembelajaran mata pelajaran umum bisa lebih optimal. Karena materi yang disajikan sesuai dengan karakter pesantren. c. Dapat meningkatkan pengawasan terhadap santri, bervariatif dalam pembelajaran, dalam merumuskan, mengembangkan, dan mewujudkan 3. Respons tingkat kepuasan terhadap hasil evaluasi pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren Respons terhadap tingkat kepuasan hasil evaluasi pelaksanaan integrasi sistem pembelajaran, Responden memberikan tanggapan sbb SST= 15. 25% . ST + 30. 30%. TS= 9. 15%. Dan STS= 6. 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa a. Evaluasi terhadap konteks program. a- aspek ini Kualitas kompetensi yang dimiliki oleh siswa. b- Kesesuaian pelaksanaan program dengan kebijakan dan tujuan yang ditetapkan oleh sekolah. c- Kesiapan pengelolaan pelaksanaan yang dilakukan oleh sekolah tergolong tinggi. b. Evaluasi terhadap masukan program. a- Upaya peningkatan kesiapan kompetensi siswa. b- Upaya peningkatan kesiapan pengelolaan program oleh sekolah. c- Upaya peningkatan kesiapan kompetensi guru. c. Evaluasi terhadap proses program aspek proses terdiri dari; a- Proses pelaksanaan program. b Faktor-faktor yang menghambat serta mendukung pelaksanaan. d. Evaluasi terhadap produk program dalam kualitas siswa dan manfaat program, manfaat pelaksanaan pembelajaran yang ada di sekolah. Bagi siswa dapat meningkatkan kompetensi yang dimiliki siswa. Menurut Suharsimi Arikunto dalam evaluasi konteks meliputi penggambaran latar belakang program yang dievaluasi, memberikan tujuan program dan analisis kebutuhan dari suatu sistem, menentukan sasaran program, dan menentukan sejauh mana tawaran ini cukup responsif terhadap kebutuhan yang sudah diidentifikasi Arikunto, 1998. Penilaian konteks dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apakah tujuan yang ingin dicapai, yang telah dirumuskan dalam program benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Integrasi dalam Sistem Pembelajaran di Pesantren Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 111 Tujuan utama evaluasi ini adalah untuk mengaitkan tujuan, konteks, input, proses dengan hasil program. Anas Sudijono mengatakan evaluasi pembelajaran tidak hanya melalui jalur ujian/tes bisa juga dengan cara non tes seperti melakukan observasi, wawancara, skala sikap, angket hingga catatan insidental dan teknik pemberian penghargaan kepada siswa verbal dan non verbal Obyek yang menjadi evaluasi pembelajaran ada 2 macam, yaitu peserta perorangan dan peserta dengan jumlah besar Anas, 2003. Implikasi hasil penelitian ini adalah a. Memiliki pendekatan yang holistik dalam evaluasi, bertujuan memberikan gambaran yang sangat detail dan luas, mulai dari konteksnya hingga saat proses implementasi, dalam membantu melakukan perbaikan b. Dengan menganalisis kebutuhan program integrasi sistem pembelajaran dapat melahirkan berbagai macam model pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. Suharsimi Arikunto mengatakan bahkan kurikulum pun bisa ditambahkan seperti halnya kurikulum khusus yang mengarah pada pembelajaran kitab-kitab klasik Arikunto, 1998. Dengan memadukan kurikulum dari pemerintah seperti halnya KTSP atau yang lainnya. c. Ustaz dituntut untuk menguasai berbagai metode serta mengetahui kelebihan dan kekurangan metode tersebut. Sehingga penggunaan suatu metode dapat dikombinasikan dengan metode lain d. Perpaduan sistem pembelajaran sekolah dan sistem pesantren dalam satu lembaga pendidikan merupakan salah satu solusi meningkatkan prestasi mata pelajaran umum IV. KESIMPULAN Setelah peneliti menganggap data yang telah diperoleh dalam penelitian cukup representatif dan dapat menjawab permasalahan yang di kaji, maka penulis mengambil kesimpulan secara deskriptif, dari data yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa adanya integrasi dalam sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren Darunna’im adalah 4. Respons pimpinan pesantren dan santri sangat baik terhadap digunakannya Integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren, karena mampu melaksanakan dan memadukan antara pelajaran umum dan agama secara seimbang dan proporsional, memberi kesempatan untuk berkompetensi yang sehat dalam mencapai prestasi akademik, serta mampu menciptakan manusia akademik yang memiliki kompetensi integratif dalam penguasaan pengetahuan agama maupun umum Fakhruddin, Saepudin 112 Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 5. Pelaksanaan proses belajar mengajar dengan mengintegrasikan sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren mendapat respons yang baik dari pimpinan dan santri/siswa secara efektif, artinya santri dapat memperoleh prestasi sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan dari beberapa pilihan yang telah ditetapkan. Efisien, artinya dapat memanfaatkan fasilitas yang ada dan dapat menggunakan komponen-komponen yang minimal seperti; waktu, biaya, dan tenaga. Fleksibel, artinya dapat dilaksanakan dengan luwes/tidak kaku, mudah dan cepat sesuai dengan karakter pesantren 6. Evaluasi yang digunakan adalah dengan Skala Likert untuk mengetahu tingkat kepuasan hasilnya tingkat kepuasan tinggi, seperti; pencapaian hasil belajar, peningkatan kemampuan individu, menentukan kebutuhan pembelajaran, memanfaatkan fasilitas yang ada, mendorong santri/siswa, membantu guru untuk mengajar yang lebih baik, menentukan strategi, akuntabilitas lembaga, dan peningkatan kualitas, hal ini mencerminkan Integrasi sistem pembelajaran mata pelajaran umum di pesantren dengan metode Klasikal, Sorogan dan Halaqoh, sebagai alternatif yang baik sesuai karakteristik pesantren V. DAFTAR PUSTAKA Abudin, N. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta PT Raja Grapindo Persada. Ahmadi, A. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta Balai Pustaka. Anas, S. 2003. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta PT. Raja Grapindo Persada. Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, 1998. Rineka Cipta, Jakarta. Ashraf, S. A., & Husain, S. S. 2000. Krisis dalam Pendidikan Islam. terj. Fadlan Mudhafir, Penerj.. Jakarta Aslmawardi Prima. Azizy, Q. 2003. Dakwah Islam di Tengah-tengah Pluralitas Bangsa. Jurnal Ilmu Dakwah, 231. Badri, Y. 2009. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah. PT. Raja Grapindo Persada. Rajawali Press. Th. Bawani, I. 1987. Segi-segi pendidikan Islam. Surabaya Al-Ikhlas. Damanhuri, A., Mujahidin, E., & Hafidhuddin, D. 2013. Inovasi pengelolaan pesantren dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Jurnal Ta’dibuna, 21, 17–37. Djamas, N. 2009. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan. Rajawali Pers. Edward, S. 2008. Total Quality Management Manajemen Mutu Pendidikan. T. A. A. Riyadi, Penerj.. Yogyakarta IRCiSoD. Hadi, S. 1997. Seri Program Statistik. Yogyakarta Universitas Gajah Mada. Hamalik, O. 1994. Proses Belajar Mengajar. Jakarta Bumi Aksara. Ibnu, H. 1999. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta Raja Grapindo Persada. Irsyad, D. H. M. 1998. . Pembaruan Kembali Pendidikan Islam. Jakarta Yayasan Kesatria Integrasi dalam Sistem Pembelajaran di Pesantren Ta’dibuna, Vol. 7, No. 1, April 2018 113 Utama Mandiri. Komalasari, G., & Wahyuni, E. 2011. Teori dan teknik konseling. Jakarta, Indeks. Moh, Y. 2009. Manajemen mutu kurikulum pendidikan. Yogyakarta Diva Press. Moleong, L. L. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke 13. Bandung Remaja Rosdakarya. Mujahidin, E. 2005. Pesantren Kilat Alternatif Pendidikan Agama Di Luar Sekolah. Jakarta Pustaka al-Kautsar. Muzayyin, A. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta PT. Bumi Aksara. Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta Ghalia Indonesia. Oemar, H. 2011. Perencanaan Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta Bumi Aksara. Penyusun, T. 1990. Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Indonesia, Jakarta Balai Pustaka. Rahmat, J. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung Remaja Rosdakarya. Sajjad. 2000. Syeikh dan Syeikh Ali Krisis dalam Pendidikan Islam terj. Fadlan Mudhafir. Jakarta Aslmawardi Prima. Santoso, G. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan kualitatif. Jakarta Prestasi Pustaka Publisher. Sarwono, S. W. 1983. Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja. Jakarta PT Ghalia Indonesia. sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Singarimbun, M., & Effendi, S. 1989. Metodologi Penelitian Survei. Jakarta LP3ES. Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Bandung Warsito. Sudjana, N. 1995. Penilaian hasil proses belajar mengajar. PT Remaja Rosdakarya. Sugiyarto, E. C. 2013. Gerakan Kewirausahaan Nasional Untuk Menyebar Virus Wirausaha. Diambil dari Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung Alfabeta. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dan R& D. Bandung Alfabeta. Sukamto. 1999. Kepemimpinan KiYai Dalam Pesantren. Jakarta LP3ES. Sukardi. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta Bumi Aksara. Sumiati, A. 2009. Metode pembelajaran. Bandung Wacana Prima. Tafsir, A. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung Remaja Rosdakarya. Tilaar, H. A. ., & Suryadi, A. 1993. Analisa Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung Remaja Rosdakarya. Walgito, B. 1980. Psikologi sosial Suatu pengantar. Fakultas Psikologi UGM. Zamakhsyari, D. 2011. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai MasaDepan Indonesia. Jakarta LP3ES. ... First, there was a study that told about the factor that inspires the establishment of pesantren education and connected it to the pesantren curriculum pesantren Abdullah, 2013;Fauzan & Fata, 2019;Saifuddin, 2015. Another factor the study told was related to the history of Madrasa curriculum and the percentage of general and Islamic studies curriculum conveyed in certain subjects in Madrasa education Abdullah, 2013;Fakhruddin & Saepudin, 2018;Hasri, 2014;Nasir, 2015;Saifuddin, 2015. Second, it was a study on the competency of the Madrasa and pesantren's graduates and the solutions given Fauzan & Fata, 2019;Mukhibat, 2016;Rohmah & Arifin, 2017;Styaningsih, 2016. ...Nur AliAs a modern Islamic educational institution, Madrasa Islamic boarding school has shifted into a public school that has Islamic identity and the issue of restructuring its curriculum is assumed as a deteriorating factor in religious aspects for its graduates. Related to this, Madrasa have responded by carrying out a curriculum program development through the integration of Madrasa curriculum program and Ma’had education Islamic dormitory. This article aims to describe the background of the integration of Madrasa curriculum program and the education in Ma’had as well as the activities and literacy that determine the success of the curriculum program integration. The data obtained from the observation, interview, and documentation were then analyzed through reduction, display, and verification phases. Afterward, the data triangulation was also conducted. It led to several findings. First, the integrated curriculum program was carried out based on the vision and mission of both Madrasa and Ma’had, and the advance of religious study and science. Second, taklim madrasy and taklim Ma’hady learning activity conducted in Madrasa and Ma’had have become the determining factors for the successful implementation of the integrated curriculum program. Moreover, all guests ranging from the officials of the Ministry of Religious Affairs, visitors from other cities and overseas, the Madrasa committee, and all tutors in the Madrasa have also affected the information literacy, digital, and collaboration levels. This sudy provides suggestions to conduct the integration of the school, Madrasa curriculum program and Ma’had program in one location to develop the students’ religious behavior, tolerance, empathy, spirituality knowledge, and literacy Hafidah Imam MakrufThis study aims to produce a guide to the management model of Ma'had al Jami'ah that is appropriate in IAIN Surakarta. This research uses a mixed-method approach that combines quantitative and qualitative approaches. Data collected through questionnaires, interviews, observations, and documentation. Then the data is elaborated and validated through FGD and triangulation. The data analysis is carried out with an interactive model. The results of this study indicate that 1 all stakeholders consider the Surakarta IAIN to have the Ma'had Al-Jami'ah program because of the strategic position of the Surakarta IAIN,; 2 Relevant programs are developed under the vision and mission of the institute, as well as the objectives of conducting education and the established competency standards of graduates; 3 The Ma'had Al-Jami'ah program is managed by a technical implementation unit under the coordination of the Vice Chancellor for Student Affairs; 4 strategies that can be taken to realize the Ma'had Al-Jami'ah management model that is relevant to IAIN Surakarta are involving the elements of higher education and Quality Assurance Institutions supported by the existence of an MOU or cooperating with nearby Damanhuri Endin MujahidinDidin Hafidhuddinp> Pesantren as an informal institution of education has been growing from recent years. Nowadays, the development of pesantren has been progressed. In these days, most people know Pesantren because of its success in making our nations have a better generations. Pesantren has gotten many respect from the society and another formal institutions because of their organized and neatly plans in their programs. Regardless of whether it is possible or not that their format and concept of education have been found, this phenomenon clearly indicates that the symptoms to establish Pesantren educational institutions are interesting to this study is having a goal to describe integrated boarding innovation management in Pesantren Terpadu and Pesantren at al-Karimiyah Darussalam and to acknowledge the format of an ideal concept of integrated management of schools in both of Pesantren. The design of this study is using a qualitative approachment with multicases design. In this study, our data have been collected through interviews, participant observation and documentation. The results of this study indicated the existence of an integrated management of Pesantren in Al-Karimiyah boarding schools and Daarussalam boarding schools. Both schools are also incorporate the concept of curriculum of the National Education Ministry and Religion Ministry, while maintaining the tradition of reviewing the books of yellow as a characteristic of the Pesantren. Pesantren Al-Karimiyah managed their education and their technique of teaching by assimilating the three systems of education management, such as management of education based on the Ministry of Religion curriculum, education management based on Pesantren Salaf, and management of education that refers to the modern Pesantren Gontor. Based on that three types of management education assimilation, They are synthesized into a pattern of innovation management education and technique of teaching which are interesting to study. With their way, Pesantren Al-Karimiyah and Daarussalam are able to make their education and technique of teaching more vibrant and competitive with the times.
Jelaskandengan contoh hubungan antara proses dan tujuan PENDIDIKAN. Memahami Tujuan dan Fungsi Pendidikan di Indonesia - Pendidikan sejatinya adalah sesuatu yang memiliki peran sebagai pondasi dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan harus dilakukan dengan sebaik mungkin dan berorientasi kepada masa depan.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pandemi Covid-19 terjadi di hampir seluruh negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Fenomena ini menimbulkan dampak yang signifikan terhadap seluruh aspek kehidupan. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Indonesia mengalami kenaikan jumlah pasien positif sebanyak pasien pada tanggal 22 September hari penambahan jumlah pasien positif semakin meningkat karena sebagian masyarakat kurang menaati protokol kesehatan yang telah ditentukan. Pendidikan menjadi salah satu aspek yang mengalami dampak signifikan karena pandemi belajar mengajar serta penerimaan peserta didik baru menjadi terhambat dan tidak berjalan seperti tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan kegiatan-kegiatan sekolah menjadi tidak efektif karena diterbitkannya peraturan-peraturan baru yang mengharuskan seluruh kegiatan pembelajaran dilakukan di rumah. Salah satunya adalah surat edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemendikbud nomor 36962/ yang diterbitkan tanggal 17 Maret 2020 tentang Pembelajaran Secara Daring Dan Bekerja Dari Rumah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease Covid-19. Dalam surat edaran ini dijelaskan beberapa aturan kerja dan pelaksanaan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran secara daring dimuat dalam poin satu dengan bunyi “Menjaga pegawai, mahasiswa, siswa, guru, dan dosen mengikuti protokol pencegahan covid-19 yang disampaikan Kantor Staf Presiden”, hal ini berarti pelaksanaan pembelajaran konvensional atau tatap muka harus diubah menjadi pembelajaran secara daring atau pembelajaran jarak itu, surat edaran nomor 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease Covid-19 yang dirilis pada 24 Maret 2020 mengikuti surat edaran sebelumnya, dimana substansi surat ini berfokus kepada pelaksanaan pembelajaran jarak jauh, tidak seperti sebelumnya yang menggabungkan regulasi pembelajaran dan samping peraturan yang disampaikan dari Kemendikbud, Wakil Gubernur Jawa Barat yaitu H. Uu Ruzhanul Ulum mengeluarkan izin berupa Keputusan Gubernur nomor 443/ kepada pihak pondok pesantren untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan catatan memenuhi persyaratan protokol kesehatan dan dituntaskan koordinasinya dengan pemerintah dari itu, Pondok Pesantren Al-Basyariyah 2, Bandung mengambil keputusan untuk melaksanakan sistem pembelajaran tatap muka dengan memenuhi berbagai macam kriteria yang harus dipenuhi. Upaya membuat perencanaan pembelajaran dimaksudkan agar dapat dicapai perbaikan pembelajaran. Melalui perbaikan pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh perancang pembelajaran. Perbaikan mutu pembelajaran harus diawali oleh pebaikan perencanaan pemikiran perencanaan pembelajaran adalah konsep pendekatan sistem dimana pendekatan ini terdiri dari analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi. Menurut Gagbe dan Briggs 1979 asumsi dasar perencaan pembelajaran yaitu 1 harus bertujuan untuk membantu seseorang belajar, 2 mencakup jangka panjang dan jangka pendek, 3 sistem pembelajaran yang dirancang secara sistematik dapat mempengaruhi perkembangan seseorang, 4 sistem pembelajaran harus dilaksanakan berdasarkan pendekatan sistem, 5 perlu didasarkan atas pengetahuan bagaimana manusia utama dalam perencanaan pembelajaran adalah pada pemilihan, penetapan dan pengembangan variabel metode pembelajaran. Pemilihan metode pembelajaran harus didasarkan pada analisis kondisi dan hasil pembelajaran. Analisis akan menunjukan bagaimana kondisi pembelajarannya dan apa hasil pembelajaran yang diinginkan. 1 2 Lihat Ruang Kelas Selengkapnya

Pembelajaranpada pondok pesantren modern dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan, dengan satuan program didasarkan pada satuan waktu, seperti catur wulan, semester, tahun/kelas, dan seterusnya. Pada pondok pesantren khalafiyah, "pondok" lebih banyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan lindkungan kondusif untuk pendidikan agama.[17] A Pengertian Sistem Pendekatan dalam Pengajaran Agama di Pondok Pesantren. Pengertian "sistem" bisa diberikan terhadap suatu perangkat atau mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian dimana satu sama lain saling berhubungan dan saling memperkuat. Dengan demikian sistem adalah suatu sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan. sistembandungan (bandongan atau wetonan) dibangun di atas filosofis, bahwa 1) pendidikan yang dilakukan secara berjamaah akan mendapatkan pahala dan berkah lebih banyak dibandingkan secara individual, 2) pendidikan pesantren merupakan upaya menyerap ilmu dan barokah sebanyak-banyaknya, sedangkan budaya "pasif" (diam dan mendengar) adalah sistem . 350 10 28 47 130 328 6 413

jelaskan sistem pembelajaran yang dilaksanakan di pesantren